Penghambat Investasi di Indonesia Versi Bank Dunia

Saat ini terdapat 100 peraturan perundang-undangan terkait skema pendanaan Kerja Sama Pemerintah dan Badan Usaha yang tidak konsisten.

oleh Fiki Ariyanti diperbarui 25 Jul 2017, 14:15 WIB
Diterbitkan 25 Jul 2017, 14:15 WIB
Bank Dunia (World Bank).
Bank Dunia (World Bank). (Foto: Reuters)

 

Liputan6.com, Jakarta - Bank Dunia melihat iklim investasi di Indonesia belum bisa tumbuh maksimal karena ada beberapa faktor penghambat. Salah satu penghambat tersebut adalah adanya aturan-aturan yang tidak menguntungkan bagi investor. 

Setidaknya, saat ini terdapat 100 peraturan perundang-undangan di Indonesia terkait skema pendanaan Kerja Sama Pemerintah dan Badan Usaha atau Public Privat Partnership (PPP) yang tidak konsisten. Kondisi tersebut selama ini menghambat masuknya investasi swasta dalam berbagai pembangunan proyek.

Presiden Bank Dunia, Jim Yong Kim mengungkapkan, ada beberapa penyebab pembiayaan sektor swasta di Indonesia masih terhambat. Salah satunya mengenai peraturan-peraturan yang tidak menguntungkan swasta guna menanamkan modal dalam pembangunan proyek infrastruktur di Tanah Air.

"Kami sudah mengidentifikasi 100 peraturan perundang-undangan yang mengatur PPP yang tidak konsisten satu sama lain, dan kurang menguntungkan swasta," kata Kim saat acara Indonesia Infrastructure Finance Forum di Fairmont Hotel, Jakarta, Selasa (25/7/2017).

Kim menjelaskan, peraturan tersebut seringkali lebih menguntungkan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) ketimbang swasta. BUMN lebih mudah mendapatkan proyek, dan sebagainya. "BUMN seyogyanya tidak diberikan hak pengelolaan proyek. Harus ada mekanisme kompetisi di sini untuk mendorong praktik terbaik di sektor infrastruktur," tegasnya.

Lebih jauh, tuturnya, pemerintah Indonesia harus segera memperbaiki regulasi, pengelolaan BUMN dengan merevisi insentif dan mempersiapkan perencanaan proyek secara matang supaya jelas bagi seluruh pemangku kepentingan yang terlibat.

"Ini dilakukan untuk menarik lebih banyak swasta dalam pendanaan proyek infrastruktur. Karena Indonesia membutuhkan investasi US$ 500 miliar dalam 5 tahun ke depan guna mengurangi kesenjangan infrastruktur. Itu berarti, belanja infrastruktur naik dari 2 persen menjadi 4,7 persen dari PDB atau dua kali lipat di 2020," ujar Kim.

Akan tetapi, faktanya, Kim menambahkan, anggaran pemerintah sangat terbatas karena pengumpulan pajak yang belum maksimal serta defisit anggaran yang dibatasi tidak boleh lebih dari 3 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB).

Pemerintah Indonesia, sambungnya, hanya mampu memungut pajak kurang dari 50 persen dari potensi yang ada, karena rasio pajak terhadap PDB mengalami penurunan dari 11,4 persen menjadi 10,4 persen. "Bahkan pemungutan pajak di Indonesia lebih rendah dari Filipina yang 13,6 persen, sedangkan tantangannya sama dengan kita," jelas Kim.

Kim menegaskan, Bank Dunia mendukung pemerintah Indonesia melaksanakan reformasi perpajakan untuk bisa meningkatkan rasio pajak 1,1 persen terhadap PDB. "Seluruh dunia sedang melihat Indonesia karena tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Ekonomi Indonesia sudah naik 10 kali lipat dibanding periode 1990-an sehingga memberikan daya tarik bagi dunia," ia menerangkan.

Tonton Video Menarik Berikut Ini:

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya