Aksi Mogok Kerja di Pelabuhan Bisa Ganggu Investasi

Ketua ALFI Yukki Nugrahawan menuturkan, mogok kerja karyawan JICT Tanjung Priok dapat merugikan pekerja sendiri dan JICT.

oleh Moch Harun Syah diperbarui 27 Jul 2017, 11:00 WIB
Diterbitkan 27 Jul 2017, 11:00 WIB
Kinerja Ekspor dan Impor RI
Suasana aktivitas bongkar muat barang ekspor impor di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, Senin (17/7). Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan kinerja ekspor dan impor Indonesia mengalami susut signifikan di Juni 2017. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Jakarta - Ketua Asosiasi Logistik dan Forwarder Indonesia (ALFI) Yukki Nugrahawan Hanafi mengatakan, rencana mogok kerja karyawan Jakarta Internasional Container Terminal (JICT) Tanjung Priok justru akan merugikan pekerja dan JICT sendiri. Apalagi, kata dia, rencana mogok kerja para Serikat JICT itu akan berlangsung seminggu yaitu sejak 3-10 Agustus 2017.

"JICT hanya salah satu pintu gerbang Indonesia, menyikapi (rencana mogok ) itu kami sudah berkoordinasi dengan shippingline (jasa pelayaran atau bongkar muat) untuk memindahkan ke pelabuhan lain. Memang akan ada penumpukan tetapi tidak masalah karena tidak ada pilihan lain," kata Yukki seperti ditulis Kamis (27/7/2017).

Yukki melanjutkan, rencana dan aksi mogok serikat pekerja JICT bukan kali ini saja. Sebelumnya juga muncul rencana mogok  pada 9 Mei 2017 namun hal tersebut dibatalkan setelah ada kesepakatan antara direksi dan Serikat Pekerja JICT.

Lebih jauh, Yukki menuturkan, apabila pelayanan tetap jalan, shippingline dapat tetap masuk dan bongkar muat di JICT. Hal tersebut akan membuat para pelaku industri menjadi lebih tenang dan yakin terhadap kondisi di Indonesia.

"Mogok di pelabuhan dapat mengganggu iklim investasi. Ya mogok memang hak pekerja tetapi sebaiknya pelayanan tetap jalan," Yukki.

Dia menambahkan, pekerja pelabuhan yang mogok tidak hanya berdampak pada operator semata. Akan tetapi karena satu pelabuhan berhenti beroperasi sementara maka diperlukan koordinasi dari berbagai shippingline untuk mengalihkan pelayanan selama masa mogok.

Yukki menyebutkan, aksi mogok berpotensi menimbulkan nuansa ketidakpastian bagi shippingline dan pelaku logistik tidak hanya dari eksportir tetapi juga importir. Ini dapat mengganggu pertumbuhan ekonomi nasional.

"Apabila mogok, sebenarnya JICT dan pekerja sendiri akan mengalami kerugian karena tidak melayani shippingline. Ada beberapa pelabuhan lain yang masih terus beroperasi di Priok sehingga tetap ada alternatif lain," tutur dia.

Lebih lanjut Yukki juga menjelaskan masalah yang menjadi penyebab mogok bukanlah masalah baru dan sudah dipahami banyak orang. Bahkan menurut dia sudah menjadi perhatian Menteri Perhubungan dan Otoritas Pelabuhan.

Dia menduga salah satu faktor penyebab mogok kerja tersebut karena bonus yang diterima karyawan pada tahun 2016 menurun sebesar 42,5 persen dibandingkan bonus pada 2015. Penurunan tersebut terjadi karena PBT (Profit Before Tax) JICT menurun dari US$ 66,33 juta pada 2015 menjadi US$ 44,19 juta pada 2016.

"Sebaiknya permasalahan ini dijauhkan dari kepentingan-kepentingan," Yukki menandaskan.

 

 

Saksikan Video Menarik di Bawah Ini:

 

Tag Terkait

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya