Potong Rantai Tengkulak dengan Sistem Koperasi Korea Selatan

KPPU RI melihat sistem koperasi pemerintah Korsel bisa diadopsi ke Indonesia untuk memutus mata rantai tengkulak yang merugikan petani.

oleh Nefri Inge diperbarui 30 Jul 2017, 07:12 WIB
Diterbitkan 30 Jul 2017, 07:12 WIB
Ketua KPPU RI Muhammad Syarkawi Rauf (Liputan6.com / Nefri Inge)
Ketua KPPU RI Muhammad Syarkawi Rauf (Liputan6.com / Nefri Inge)

Liputan6.com, Palembang - Panjangnya mata rantai tengkulak di komoditi bahan pokok membuat petani Indonesia hanya mengantongi keuntungan yang minim. Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) RI akhirnya melakukan penelitian tata niaga beras di Indonesia.

Untuk memutus mata rantai tengkulak tersebut, KPPU akan mengusulkan ke pemerintah untuk memperkuat posisi koperasi di tingkat pedesaan.

Menurut Ketua KPPU RI Muhammad Syarkawi Rauf, kehadiran koperasi bisa membuat distribusi beras dari petani ke konsumen bisa lebih cepat dengan harga jual yang bisa menguntungkan masyarakat.

Salah satu usulan pengembangan koperasi sukses yang diadopsi KPPU yaitu seperti yang digerakkan pemerintah Korea Selatan (Korsel).

“Kita melihat di Korsel termasuk (kawasan) usaha tani yang sangat kuat melalui koperasi. Berjualan hasil panen ke pasar lelang di sentra pasar langsung,” ujarnya dia di akhir pekan ini.

Sistem koperasi di Korsel yaitu membeli langsung hasil panen dari petani. Pihak koperasi akan menjualnya ke pasar lelang di sentra konsumen di Seoul. Di kawasan tersebut ada bursa lelang terbesar , pembelinya bisa dari warga biasa atau juga dari kalangan penggerak industri.

Penerapan sistem koperasi ala Korsel ini, lanjutnya, rantai distribusi komoditi pokok akan semakin pendek.

“Harga ke petani bisa besar, harga ke konsumen juga masih terjangkau. Hanya ada tiga tahapan. Ini yang akan didorong di Indonesia,” ujarnya.

Salah satu contoh lokasi pelelangan yang sudah berjalan yaitu Pasar Induk Cipinang Jakarta. Kendati belum dibuat formal, namun pasar tradisional ini bisa jadi percontohan pusat pelelangan.

Jika keberadaan koperasi di pedesaan tidak berjalan, maka rantai tengkulak akan menguasai distribusi komoditi pokok dari petani.

Koperasi ala Korsel juga bisa menekan pembelian gabah yang terlalu rendah oleh pengusaha penggilingan padi modern, sehingga ini bisa merugikan para petani.

Kasus seperti ini ditemukan di daerah Jawa Tengah (Jateng).Ada perusahaan besar menggunakan jasa tengkulak untuk membeli gabah kering dengan harga yang ditetapkan pemerintah yaitu Rp 3.700 per kilogram.

“Ini sangat merugikan petani karena pembeliannya sangat rendah, sedangkan berasnya nanti dijual ke konsumen dengan harga di atas rata-rata,” ujarnya.

Persaingan pengusaha penggilingan modern dan pengusaha lokal juga masih menjadi Pekerjaan Rumah (PR) pemerintah. Untuk itu KPPU RI mengusulkan adanya tata niaga beras yang baik dan bisa menguntungkan semua pihak.

Persaingan Giling Gabah

Ketua KPPU RI Muhammad Syarkawi Rauf bersama Kepala Satgas Pangan Polri Irjen Pol Setya Wasisto (Liputan6.com / Nefri Inge)
Ketua KPPU RI Muhammad Syarkawi Rauf bersama Kepala Satgas Pangan Polri Irjen Pol Setya Wasisto (Liputan6.com / Nefri Inge)

Produksi padi secara nasional sebesar 79,9 Ton disumbang dari enam provinsi. Di Jawa Tengah (Jateng) sebesar 18 Persen, Jawa Timur (Jatim) sebesar 17 Persen, Kalimantan Barat (Kalbar) sebanyak 15 persen, Sulawesi Selatan (Sulsel) sebesar 7 Persen, Sumatera Selatan (Sumsel) sebanyak 6 persen dan Sumatera Utara (Sumut) sebesar 5,8 persen.

Persaingan usaha penggilingan gabah sangat ketat terjadi di dua kabupaten Provinsi Sulsel, yaitu Kabupaten Pinrang dan Sidenreng Rappang (Sidrap). Bupati Pinrang menolak izin operasional penggilingan skala besar untuk menjaga usaha penggilingan warga lokal.

Namun di Kabupaten Sidrap, pejabatnya mengizinkan usaha penggilingan besar dengan kapasitas ribuan ton gabah. Ternyata, gabah dari kabupaten tetangga seperti Pinrang dan Soppeng juga ikut terserap.

“Akhirnya penggilingan kecil di sekitarnya tidak bisa bertahan. Ratusan penggilingan kecil tidak bisa beroperasi karena kalah saing, yang bertahan hanya 20-30 persen. Situasi yang tidak adil bagi masyarakat kita,” katanya.

Untuk menekan penggerusan usaha lokal, sistem kelompok tani dan kelola koperasi menjadi solusinya. Selain itu, pemerintah juga perlu memikirkan kucuran modal untuk usaha penggilingan kecil.

Persaingan dengan penggilingan besar yang menggunakan teknologi canggih tidak akan mampu diikuti oleh usaha lokal. Pihaknya mendorong agar pemerintah bisa mengucurkan modal agar usaha penggilingan lokal bisa bersaing dengan meningkatkan kualitas alat penggilingannya. Hal ini juga berkaitan dengan hasil penggilingan yang bernilai jual tinggi.

“Penggilingan kecil butuh bantuan. Tapi ini memang tidak mudah dan bisa diselesaikan dalam waktu jangka menengah dan panjang,” katanya.

Angka kemiskinan juga banyak disumbang dari kalangan petani. Dengan bantuan ini diharapkan bisa meningkatkan kesejahteraan petani dan menekan angka kemiskinan di Indonesia.

Kepala Satgas Pangan Polri Irjen Pol Setya Wasisto mengungkapkan bahwa usaha penggilingan besar bisa beroperasi dengan biaya yang kecil dan harga jual yang tinggi. Hal ini yang dinilai tidak adil bagi usaha penggilingan kecil maupun masyarakat.

“Satgas Pangan akan membuat target tata niaga yang berkeadilan. Kami ingin harga padi wajar, menuju ekonomi kerakyatan. Masyarakat beli dengan sukacita, petani dan distributor juga bisa tersenyum. Itu yang kita harapkan,” ucapnya.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya