Nuklir Korut Bisa Kerek Harga Emas Capai US$ 10.000 per Ounce

Nilai logam mulia ini meningkat lima persen sejak awal Agustus ke level US$ 1.324 per ounce.

oleh Vina A Muliana diperbarui 05 Sep 2017, 05:31 WIB
Diterbitkan 05 Sep 2017, 05:31 WIB
Rudal Korea Utara Lintasi Langit Jepang
Seorang pria menonton layar TV yang menunjukkan cuplikan arsip peluncuran rudal Korea Utara, di Stasiun Kereta Seoul, Korea Selatan, Selasa (29/8). Korea Utara menembakkan sebuah rudal balistik di atas wilayah Jepang, Selasa pagi. (AP/Ahn Young-joon)

Liputan6.com, Jakarta - Ketegangan geopolitik di Semenanjung Korea terus meninggi. Uji coba misil dan rudal yang dilakukan oleh pemerintah Korea Utara (Korut) menjadi penyebab utama akan hal ini. Negara yang dipimpin oleh Kim Jong Un ini mengklaim tengah berhasil menjalankan uji coba misil ke enam kalinya yang merupakan bagian dari pengembangan bom hidrogen.

Imbas dari uji coba ini pun merembet ke berbagai hal. Dilansir dari thestreet.com, Selasa (5/9/2017), tensi ini turut mengerek harga emas ke level tertinggi. Harga logam mulia ini naik lima persen sejak awal Agustus ke level US$ 1.324 per ounce.

Para ahli mengungkap, peningkatan harga emas justru hanya sebagai titik awal. Jika tensi ini terus terjadi, tak dipungkiri emas akan mencapai harga tertinggi hingga US$ 10.000 per ounce.

"Sejak awal tahun, harga emas terus meroket. Ini menjadi aset dengan performa terbaik sepanjang 2017," tutur penulis buku Currency Wars, Jim Rickards.

"Orang-orang punya pandangan sempit. Kalau saya bisa memperkirakan bahwa perang akan benar-benar terjadi," tambahnya.

Bom hidrogen yang diuji coba Korut diperkirakan berdaya 100 kiloton. Dapat pula disebut, bom ini berkekuatan empat atau lima kali lebih besar dari bom atom yang dijatuhkan di Nagasaki pada tahun 1945.

Ini merupakan uji coba nuklir keenam Korut dan yang pertama sejak Donald Trump dilantik. Peristiwa ini dinilai akan meningkatkan ketegangan yang saat ini sudah tinggi antara pemerintah AS dan rezim Korut.

Uji coba bom hidrogen yang dilakukan Korea Utara terpantau oleh Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG). Pada hari Minggu 3 September 2017, pukul 10.30 lewat empat menit WIB, jejaring gempa BMKG mencatat aktivitas seismik tak lazim.

"Sebanyak 166 sensor seismik yang digunakan BMKG dalam menganalisis parameter kegempaan menunjukkan adanya sebuah 'pusat gempa' dengan kekuatan 6,2 SR terletak pada koordinat 41,29 LU dan 128,94 dengan kedalaman 1 km tepatnya di wilayah Negara Korea Utara," demikian keterangan tertulis BMKG.

Tidak hanya BMKG, sejumlah lembaga pemantau gempa dunia lainnya, seperti Amerika Serikat (USGS), Jerman (GFZ), dan Eropa (EMSC) pun mencatat aktivitas seismik tak lazim ini yang juga berpusat di Korut.

Hasil perhitungan USGS menunjukkan, kekuatan gempa mencapai 6,3 SR sementara GFZ 6,0 SR dan EMSC 5,9 SR.

Tonton Video Menarik Berikut Ini:

Ancaman AS

Menteri Pertahanan Amerika Serikat, James Mattis, memberi pernyataan tegas terhadap Korea Utara. Ia mengatakan, seluruh ancaman Korut terhadap AS dan sekutunya, akan ditanggapi dengan respons militer besar-besaran.

Pernyataannya tersebut disampaikan setelah Mattis melakukan pertemuan keamanan dengan Presiden AS Donald Trump tentang uji coba nuklir terakhir oleh Korea Utara.

Pada 3 September 2017, Pyongyang mengatakan bahwa negaranya telah berhasil menguji coba bom hidrogen yang dapat diangkut rudal jarak jauh.

Menanggapi hal tersebut, Mattis mengatakan bahwa AS memiliki kemampuan untuk mempertahankan diri dan sekutunya, yakni Korea Selatan dan Jepang, dari ancaman Korut. Ia menambahkan, komitmennya tak dapat diubah.

"Ancaman apa pun terhadap Amerika Serikat atau teritorinya -- termasuk Guam -- atau negara sekutu kami, harus berhadapan dengan respons militer besar-besaran, respons yang efektif dan membuat kewalahan," ujar Mattis di luar Gedung Putih seperti dikutip dari BBC.

Meski demikian, Mattis masih berharap bahwa Korut akan melakukan denuklirisasi.

"Kita tidak berencana untuk menghancurkan sebuah negara secara total, yakni Korea Utara," ujar pensiunan Korps Marinir AS itu.

Sementara itu, Dewan Keamanan PBB akan menggelar pertemuan darurat pada 4 September 2017. Hal tersebut untuk membahas respons internasional terhadap uji coba nuklir Korut.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya