Ketua HKTI: Harga Hasil Tani Tak Stabil karena Masyarakat Latah

HKTI akan memetakan daerah-daerah yang memiliki tanah yang cocok ditanami cabai, seberapa luas lahan, dan besaran kapasitas produksinya.

oleh Nafiysul Qodar diperbarui 16 Okt 2017, 11:29 WIB
Diterbitkan 16 Okt 2017, 11:29 WIB
Ilustrasi petani
Seorang petani dusun Tutup Duwur Kecamatan Dukun Magelang sedang membajak sawahnya di kaki Merapi dengan kerbaunya. (foto : Liputan6.com / edhie prayitno ige)

Liputan6.com, Jakarta Ketua Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI), Moeldoko, menyoroti harga hasil bumi yang seringkali tidak stabil. Misalnya, harga cabai yang sewaktu-waktu meroket dan terkadang merosot tajam.

Menurut Moeldoko, fenomena itu tak lepas dari sifat masyarakat yang mudah latah. Mereka gampang beralih ke hal baru tanpa memperhitungkan dampaknya.

"Kecenderungan petani di Indonesia itu begitu, musim cabai mahal semua tanam cabai. Begitu panen bareng, harga jatuh lagi. Kemudian enggak mau menanam cabai lagi," ujar Moeldoko seperti dikutip Senin (15/10/2017).

Dia juga mengaku pihaknya akan memetakan daerah-daerah yang memiliki tanah yang cocok ditanami cabai, seberapa luas lahan, dan besaran kapasitas produksinya. Pemetaan juga akan berlaku untuk hasil bumi lainnya.

"Jadi, nanti kita bisa melihat. Karena Gusti Allah ini udah mengatur, di mana lahan bisa tanam cabai, bawang, padi, dan lain-lain. Tidak semua tempat bisa," kata dia.

Kebiasaan yang salah ini pula yang membuat ketahanan pangan tidak stabil. Harga pangan akan melambung tinggi ketika kesediaan produk sedikit. Bahkan memaksa kita untuk mengimpor barang tersebut. Begitu juga sebaliknya.

"Itulah kesalahan kita, tidak bisa mengelola klasterisasi produk-produk tadi hingga sesuai dengan kebutuhan. Ini latah masyarakat Indonesia. Perilaku-perilaku itu akan kita benahi," ucap Moeldoko.

Tonton Video Pilihan Ini:

 

 

Cintai Produk Lokal

Tak hanya itu, Moeldoko juga mendorong masyarakat agar lebih menghargai dan mencintai produk dalam negeri. Menurut dia, produk lokal kalah saing lantaran kurang memahami dan menguasai pasar.

"Kita mencukupi pasar di dalam negeri aja udah kalang kabut sebenarnya. Cuma kita keburu ngeluh," ujar dia.

Begitu ada produk asing masuk ke dalam negeri, para petani mulai mengeluh. Padahal, para petani seharusnya bisa berinovasi dengan bahan yang dimiliki sendiri menjadi produk yang sepadan.

"Jadi jangan semuanya diserahkan ke Starbucks untuk membangun bisnisnya di sini. Tapi ada celah pasar yang bisa kita ambil. Kalau itu dikelola dengan baik, saya kira pisang goreng juga enggak kalah kok," tutur Moeldoko.

Mantan Panglima TNI itu mengatakan, kualitas produk petani Indonesia cukup diperhitungkan oleh negara lain. Hanya saja, kita tidak bisa mengelola dengan baik dan menghargai dengan baik pula.

Moeldoko lantas mencontohkan cokelat. Indonesia memiliki kualitas cokelat yang baik, tapi yang menikmati justru negara lain. Tak hanya itu, kopi yang ada di Indonesia juga tidak kalah kualitasnya dibandingkan negara lain.

Hanya saja kita kurang menghargai hasil bumi sendiri. Kopi dari petani Indonesia dibeli dengan harga murah. Sementara kita rela membeli produk kopi dari negara lain dengan harga tinggi.

"Jadi gimana petani itu bisa selalu bergairah dalam menanam. Saran saya, kita coba maksimum untuk hidupkan petani kita," ujar Moeldoko.

"Memang kita ketika enggak ada beras, kita bisa impor. Tapi kan petani kita ada sekitar 60 juta. Karena itu saran saya cintailah produk kita sendiri. Kopi kita enak, karbohidrat kita banyak sekali. Saya sarankan untuk menikmati betul barang kita. Jangan dikit-dikit impor," tandas dia.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya