Nielsen: Gaji Kelas Menengah Bawah Turun, Konsumsi Berkurang

The Nielsen Company Indonesia merilis hasil survei perlambatan pertumbuhan ritel fast moving consumer good (FMCG) Indonesia.

oleh Agustina Melani diperbarui 03 Nov 2017, 14:33 WIB
Diterbitkan 03 Nov 2017, 14:33 WIB
Suku Bank Bank
Ilustrasi Foto Suku Bunga (iStockphoto)

Liputan6.com, Jakarta - The Nielsen Company Indonesia merilis hasil survei perlambatan pertumbuhan ritel fast moving consumer good (FMCG) Indonesia. Dari rilis survei itu menunjukkan ada perlambatan pertumbuhan di sektor FMGC.

Mengutip laporan Nielsen, seperti ditulis Jumat (3/11/2017), FCMS alami perlambatan pertumbuhan dengan hanya mencapai 2,7 persen hingga September 2017. Sedangkan rata-rata pertumbuhan normal tahunan mencapai 11 persen.

Bila melihat survei Nielsen, pertumbuhan FMCG cenderung melambat sejak 2012. Tercatat, pertumbuhan FCMG sekitar 14 persen dengan inflasi 8,4 persen, 2013 tercatat 10,5 persen, 2014 sekitar 11,5 persen, 2016 sekitar 7,7 persen. Hingga September 2017, FCMG tumbuh 2,7 persen.

Dalam laporan itu disebutkan kelas menengah bawah sebagai pemegang porsi yang besar mengalami perlambatan karena menurunnya take home pay (THP), kenaikan harga utility sehingga berdampak pada pengurangan konsumsi, menahan pembelian impulsif produk dan downsizing.

"Upper class masih menunggu situasi di mana mereka hanya bertindak wait and see, namun ada indikasi di mana pengeluaran di lifestyle cenderung terus bertumbuh," tulis laporan itu.

Ekonom PT Bank Permata Tbk Joshua Pardede menilai, daya beli masyarakat masih cukup solid terutama di masyarakat kelas menengah hingga atas. Akan tetapi, ia melihat ada perubahan pola konsumsi masyarakat. Saat belanja, masyarakat lebih memilih untuk kebutuhan penting dan seperlunya.

"Berdasarkan data BPS pada kuartal II kalau barang konsumsi, alat rumah tangga, non durable goods turun, sedangkan bisnis restoran dan hotel naik. Jadi ada shifting," ujar Joshua saat dihubungi Liputan6.com.

Ia menambahkan, masyarakat menengah hingga atas sekarang menunda konsumsi. Kini mengalihkan dana untuk menabung. Hal ini karena ada sejumlah kegiatan politik yang akan berlangsung tahun depan.

Berdasarkan data Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) menyebutkan, jumlah simpanan dengan saldo hingga Rp 2 miliar naik 0,99 persen dari 226,82 juta rekening pada Agustus 2017 menjadi 229,06 juta rekening. Jumlah nominalnya juga naik 0,39 persen dari Rp 2.214,108 miliar menjadi Rp 2.222.718 miliar.

"Masyarakat menengat atas wait and see dan menunda. Mereka melihat kenaikan suku bunga AS, Dolar AS, dan pelaksanaan pemilihan kepala daerah (Pilkada) 2018, dan mulai kampanye pemilihan presiden,serta pajak," ujar dia.

Joshua melihat, daya beli masyarakat akan pulih 2018. Apalagi pemerintah mendorong percepatan belanja anggaran desa dengan menggenjot proyek padat karya. Joshua menilai, hal itu dapat meningkatkan produktivitas dan pendapatan masyarakat.

"Selain itu upah minimum akan naik, daya beli jadi akan membaik," kata dia.

Joshua pun mengingatkan kalau pentingnya perusahaan berinovasi. Ini agar tetap bertahan di tengah perkembangan teknologi.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

 

Maraknya Gerai Ritel Ini Tutup Imbas Pendapatan Bekerja Ini Turun?

Sebelumnya beberapa gerai ritel di Indonesia tutup lantaran kinerja kurang memuaskan. Penutupan gerai ritel itu menimbulkan dugaan diakibatkan oleh transisi digital ekonomi lantaran belanja online yang dilakukan masyarakat meningkat.

Ekonom Universitas Indonesia M Chatib Basri, mencoba membedah masyarakat yang memanfaatkan fasilitas belanja online. Konsumen yang menggunakan fasilitas tersebut adalah kelas menengah ke atas, memiliki akses perbankan dan yang sudah melek teknologi.

Jika dilihat, saat ini dari seluruh masyarakat Indonesia baru 35 persen yang sudah menggunakan akses perbankan‎, sedangkan yang melek teknologi menggunakan ponsel pintar hanya pada kaum urban kelas menengah ke atas. Lantaran harga ponsel pintar baru bisa terjangkau kalangan tersebut.

"Kalau 65 persen belum punya akses bank, sehingga fenomena online hanya 35 persen.‎ Yang pakai smartphone dilihat dari demografinya muda, lokasi urban, tipikal income-nya middle upper," papar Chatib, ‎dalam 2017 Market Outlook Be A Game Changer In Digital Era, di Hotel Mulia, Jakarta, Kamis 26 Oktober 2017.

Di sisi lain berdasarkan indeks yang dibuat pada 2014 menunjukkan, besaran pendapatan masyarakat menengah ke bawah khususnya yang berprofesi pada sektor riil yaitu pekerja konstruksi dan petani menurun padahal masyarakat tersebut yang menjadi konsumen dari ritel konvensional. Hal ini membuat konsumsi pada pasar ritel konvensional turun, sehingga berimbas pada penutupan gerai-gerai ritel konvensional.

"Itu membuat Matahari drop, harco drop yang konsumen biasanya menengah ke bawah," ucap Chatib.

Chatib mengakui, saat ini pertumbuhan ekonomi relatif stabil berada di level 5,1 persen. Meski jauh lebih rendah ketimbang sebelum 2014, akibat penurunan pertumbuhan komoditas dari 5,5 menjadi 5,1 persen.‎ Akan tetapi pertumbuhan tersebut bertahan karena meningkatnya pendapatan kalangan menengah ke atas, sementara untuk kalangan menengah ke bawah menurun.

"Yang saya bilang konsumsi betul bertahan di 5 persen, tapi bertahan di menengah ke atas tapi ke bawah mengalami penurunan,"‎ ujar Chatib.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya