Toko Ritel Tutup, karena Daya Beli atau Digitalisasi?

Satu per satu toko ritel di Indonesia tutup.

oleh Fiki Ariyanti diperbarui 27 Okt 2017, 17:45 WIB
Diterbitkan 27 Okt 2017, 17:45 WIB
Sevel Tutup
Warga melihat-lihat kawasan gerai 7-Eleven yang tutup di kawasan Jalan Kapten Tendean, Jakarta, Sabtu (24/6). Penutupan seluruh gerai 7-Eleven di Indonesia akan dilakukan 30 Juni 2017. (Liputan6.com/Helmi Fithriansyah)

Liputan6.com, Jakarta Gelombang penutupan toko-toko ritel di Indonesia mulai tampak jelas. Satu per satu berguguran diterpa isu pelemahan daya beli masyarakat hingga tertindas persaingan bisnis online (e-commerce) yang kian masif.

Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (UI), Rhenald Kasali mengungkapkan, maraknya penutupan toko ritel bukan saja menghantam Indonesia, tapi juga di negara lain. Toko-toko ritel raksasa tumbang karena tak kuasa menahan derasnya arus digitalisasi.

"Ini tren dunia. Radio Shack di AS menutup 1.643 toko, Gymboree tutup 150 toko, Walmart dan Meses pun senasib menutup cukup banyak toko. Di Hong Kong mulai diperkecil toko-tokonya, dan di Singapura mulai berubah," kata Rhenald saat berbincang dengan wartawan di Jakarta, Jumat (27/10/2017).

Menurutnya, saat ini jarak tidak lagi menjadi halangan bagi orang untuk berbelanja. Dengan aplikasi belanja online, orang tak perlu lagi belanja seperti dulu, datang ke toko langsung. Sebab, saat ini sewa toko di mal biayanya selangit.

"Sekarang masyarakat punya marketplace, seperti Bukalapak, Tokopedia. Orang dan perusahaan bisa beli apa saja lewat marketplace ini. Anak-anak muda pun demikian. Jadi ada alat-alat baru yang membuat masyarakat beralih ke sana," dia menjelaskan.

Sayangnya, kata Rhenald, perubahan ini tidak ditangkap secara cepat oleh perusahaan-perusahaan ritel di Indonesia. Ketika digitalisasi ini menyebar secara cepat, mereka baru mulai berbenah, merombak bisnis model. "Perubahan ini tidak dibaca dengan cepat," tegasnya.

Fenomena ini seolah mematahkan bahwa penutupan toko ritel secara marak terjadi bukan karena penurunan atau pelemahan daya beli masyarakat. Dia berpendapat, banyak fakta yang justru bertentangan dengan daya beli.

"Kalau daya beli melemah, uangnya tidak ada. Lihat di bank Dana Pihak Ketiga (DPK) naik, cadangan devisa banyak. Tapi uangnya tidak digunakan untuk belanja di toko-toko yang kelihatan, jadi Indonesia memasuki tahapan di mana lawan para pelaku usaha yang lama tidak kelihatan semua," ucap Rhenald.

Solusinya, ia mengakui, industri harus segera bergeser, mengubah bisnis model. Katanya, ini bukanlah persaingan misalnya antara transportasi online dan konvensional. Akan tetapi, Rhenald menyebut sudah masuk dalam perang bisnis model, yakni alat pembayaran, mengantarkan makanan minuman, sampai tukang pijat.

"Gubernur melarang ojek online beroperasi di suatu kota. Ojek online bersaing dengan angkot, dan angkot itu tidak nganterin makanan lho. Jadi kota itu bakal menghadapi persoalan matilah industri kuliner mereka, karena angkot tidak nganterin makanan," jelasnya.

Pelaku usaha, saran Rhenald, jangan sering komplain seperti apa yang disampaikan Bos Alibaba, Jack Ma. Sebab orang komplain dianggap akan tetap tinggal di masa lalu, sehingga pengusaha harus meninggalkan hal tersebut dan mulai berinovasi.

"Perusahaan yang lama harus melakukan self-disruptive Mereposisi diri sehingga struktur biaya semakin rendah. Buat pemerintah, mereka harus memelopori pemikiran baru atau bisnis model baru ini, jangan linier karena ini sudah persaingan antara bisnis model," kata Rhenald.

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya