Pengamat: RI Masih Lunak kepada Pengemplang Pajak

Pengamat menilai Pemerintah Indonesia mengambil tindakan yang lebih lunak, sementara negara luar tidak seperti itu.

oleh Vina A Muliana diperbarui 11 Nov 2017, 13:15 WIB
Diterbitkan 11 Nov 2017, 13:15 WIB
Ilustrasi Pajak
Ilustrasi Pajak (iStockphoto)​

Liputan6.com, Jakarta - Bocoran dokumen Paradise Papers yang diungkap ke publik oleh Konsorsium Jurnalis Investigasi (ICIJ) pada 6 November lalu menyeret nama-nama politikus dan pejabat Indonesia yang diduga melakukan pengemplangan pajak.

Nurkholis Hidayat, Analis Forum Pajak Berkeadilan menuturkan, langkah yang diambil pemerintah Indonesia terkait dugaan penyelewengan pajak masih belum maksimal. Dia menuturkan, hingga kini, tak ada penyidikan mengenai hal tersebut hingga kini.

"Indonesia mengambil tindakan yang lebih lunak, sementara negara luar tidak seperti itu," tutur dia di acara diskusi Polemik Sindo Trijaya, Sabtu (11/11/2017).

Lebih lanjut Nurkholis menjelaskan, aparat penegak hukum baik dari Ditjen Pajak, KPK, kepolisian maupun kejaksaan tak melakukan penyidikan terkait persoalan pajak tersebut. Alih-alih melakukan itu, kata dia, pemerintahan Jokowi justru memakai program Pengampunan Pajak.

"Menanggapi hal itu undang-undang tax amnesty akan dilakukan. Tapi masih banyak yang tidak ikut. Kalau begitu bagaimana? Kalau ada bukti permulaan dari awal orang ini punya intensi mau mengelak pajak harusnya diproses hukum," tambahnya.

Hal yang sama juga dikatakan oleh Koordinator Nasional Publish What You Pay (PWYP) Maryati Abdullah. Menurut dia, skema Tax Amnesty yang sudah dilakukan pemerintah belum sepenuhnya efektif untuk mengincar pengembalian harta dari oknum-oknum yang ingin mengemplang pajak.

"Saya kira tax amnesty belum tentu efektif menghalau perusahaan cangkang. Ini hanya bersifat kuratif dan tidak terlalu efektif," katanya.

"Kalau Menteri Sri Mulyani dan Dirjen pajak bilang pencapaian Tax Amnesty kita efektif dan lebih tinggi dari negara lain tapi tidak seperti itu perbandingannya. Indonesia masih masuk 10 besar dunia, nomor 7 dalam peringkat negara paling banyak aliran uang haram. Ini karena banyak tax haven itu dan bocornya data yang mengenai perpajakan," pungkas dia.

Sebagai informasi, dalam laporan Paradise Papers setidaknya ada tiga nama yang turut masuk, yakni politikus Prabowo Subianto, dan anak mantan Presiden Soeharto, Tommy dan Mamiek Soeharto.

Sama halnya dengan Skandal Panama Papers yang diungkap tahun lalu, dokumen itu diperoleh oleh surat kabar Jerman Süddeutsche Zeitung, yang kemudian meminta International Consortium of Investigative Journalists (ICIJ) atau Konsorsium Jurnalis Investigatif untuk melakukan penyelidikan.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

 

DJP Bakal Selidiki Orang Tenar RI Masuk Daftar Paradise Papers

Sebelumnya, Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak atau Ditjen Pajak Kementerian Keuangan akan bergerak menganalisis dokumen surga atau yang lebih dikenal dengan Paradise Papers yang mencatut nama orang superkaya di Indonesia. Tentunya itu dilakukan dengan langkah sesuai prosedur mulai dari pencocokan data.

Direktur Jenderal (Dirjen) Pajak, Ken Dwijugiasteadi, mengaku akan bekerja seperti biasa mengolah data atau laporan yang diterima dari berbagai sumber, termasuk dari Paradise Papers. Hal ini sama dengan apa yang dilakukan saat Panama Papers dan data transfer uang melalui Standard Chartered menyeruak.

"Kalau menyangkut pajak, pasti sesuai dengan ketentuan saya lihat dulu. Pasti kami kerjakan, seperti Panama Papers, tapi hasilnya tidak bisa diumumkan ke publik," ujar dia usai Rapat Pimpinan (Rapim) di kantor Kemenkeu, Jakarta, Selasa 7 November 2017.

Paradise Papers merupakan 13,4 juta dokumen yang berisi catatan kekayaan tersembunyi para elite dunia, termasuk Indonesia, demi menghindari pajak. Sebelumnya, tersebar pula data Panama Papers yang menyeret nama-nama miliarder global maupun nasional.

Dengan era pertukaran data secara otomatis untuk kepentingan perpajakan (Automatic Exchange of Information/AEoI) per September 2018, Ditjen Pajak ke depan dapat langsung meminta data atau informasi dari Wajib Pajak Indonesia di luar negeri by request atau permintaan.

"Kalau sudah ada AEoI, kami bisa request kok," tegas Ken.

Sementara itu, Direktur Potensi, Kepatuhan, dan Penerimaan Pajak Ditjen Pajak, Yon Arsal, mengatakan bahwa seluruh data atau informasi yang diperoleh baik dari Paradise Papers, Panama Papers, dan sumber lainnya akan dilihat Ditjen Pajak untuk ditindaklanjuti.

"Sesuai SOP tidak hanya bicara Panama dan Paradise Papers, kalau terima data, kami akan sandingkan dengan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan Pajak Penghasilan (PPh) Wajib Pajak," dia menjelaskan.

Apabila ada perbedaan data yang diperoleh dengan SPT, ujar Yon, pihaknya akan memberikan imbauan kepada Wajib Pajak sampai ke tahap klarifikasi. Langkah selanjutnya, dia menjelaskan, jika wajib pajak tidak menanggapi imbauan dan tidak mengklarifkasi, maka akan dilakukan pemeriksaan.

"Kalau wajib pajak mau klarifikasi dan bayar, case closed. Tapi kalau tidak, ya diusulkan pemeriksaan dan ujungnya Surat Ketetapan Pajak (SKP)," ujarnya.

"Jika dia datanya valid, tapi tidak mau bayar SKP, maka jadi tunggakan pajak dan akan ada surat teguran, surat paksa, gijzeling (penyanderaan). Jadi perlakuannya sama atas semua data," ujar Yon.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya