Institusi Kepabeanan RI dan Australia Soroti Bisnis E-Commerce

Ditjen Bea dan Cukai menyatakan di tengah berkembangnya bisnis e-commerce terdapat potensi penerimaan negara.

oleh Agustina Melani diperbarui 23 Nov 2017, 15:00 WIB
Diterbitkan 23 Nov 2017, 15:00 WIB
(Foto: Ditjen Bea Cukai)
Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dan Australian Border Force (ABF) kembali menyelenggarakan pertemuan tahunan, 17th Customs-to-Customs Talks (Foto: Ditjen Bea Cukai)

Liputan6.com, Jakarta - Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (Ditjen Bea dan Cukai) dan Australian Border Force (ABF) kembali menyelenggarakan pertemuan tahunan, 17th Customs-to-Customs Talks, di Melbourne, Australia pada 20-21 November 2017.

Dalam pertemuan ini, kedua instansi kepabeanan membahas beberapa isu kepabeanan terkini. Selain itu juga perkuat kerja sama yang terjalin antara institusi kepabeanan Indonesia dan Australia.

Direktur Jenderal Bea dan Cukai, Heru Pambudi mengungkapkan salah satu topik yang dibahas adalah perkembangan bisnis e-commerce yang kian pesat. Pertumbuhan paling pesat terjadi di kawasan Asia-Pasifik dengan persentase kenaikan mencapai 28,4 persen.

"Tren jual beli terhadap barang-barang tidak berwujud (intangible goods) juga turut mengalami perubahan, di mana sebelumnya intangible goods dikemas secara fisik untuk dijual, namun saat ini telah berubah menjadi digital. Di tengah pesatnya perkembangan bisnis e-commerce, pemerintah perlu menyadari bahwa terdapat potensi penerimaan negara dari sektor tersebut, berikut langkah yang harus diambil, serta tantangan yang muncul untuk mengamankan potensi penerimaan negara. Pembahasan ini juga akan kami sampaikan ke World Customs Organization (WCO) sebagai wadah organisasi yang menaungi administrasi kepabeanan di seluruh dunia," jelas dia, seperti dikutip dari keterangan tertulis, Kamis (23/11/2017).

Heru menambahkan yang menjadi tantangan adalah belum adanya tata kelola yang ditetapkan oleh WCO terkait pengenaan pungutan kepabeanan terhadap intangible goods.

"Tantangannya ialah bagaimana mendeteksi transaksi dan mengenakan pungutan kepabeanan atas transaksi tersebut," ujar dia.

Ia menambahkan, Ditjen Bea dan Cukai sendiri memiliki dua metode pendekatan, yaitu Follow the Data, yang dapat diimplementasikan dengan memanfaatkan data transaksi e-commerce pada gerbang pembayaran nasional sesuai dengan yang diatur oleh Bank Indonesia dalam peraturan nomor 19/8/PBI/2017. Kemudian Follow the Money, yang dilakukan dengan melakukan pelacakan bukti pembayaran transaksi elektronik.

"Untuk itu diperlukan kerja sama, baik antara administrasi kepabeanan ataupun dengan sektor e-commerce, untuk mengakomodir pertukaran data," kata dia.

Selain membahas e-commerce, kedua institusi kepabeanan ini juga komit untuk melanjutkan beberapa proyek kerja sama yang telah dilaksanakan, antara lain pelatihan di bidang vessel search, asistensi teknis dan pemberian bantuan detector dog, pelaksanaan Integrity Workshop pada 2018, penyelenggaraan capacity building, dan pertukaran data.

Heru menjelaskan latar belakang dilanjutkannya kerja sama pertukaran data antara kedua instansi kepabeanan.

"Di era keterbukaan saat ini, di mana akses informasi semakin mudah diperoleh, menuntut sistem pertukaran data antar negara dan khusunya antar administrasi kepabeanan mutlak diperlukan. Hal ini yang mendasari Bea Cukai dan ABF berininsiatif melanjutkan kerja sama pertukaran data intelijen, di antaranya data lalu lintas yacht/kapal kecil, perdagangan tenbakau/barang kena cukai ilegal, barang-barang berbahaya terutama yang berkaitan dengan terorisme, dan pertukaran data reputable treaders untuk meningkatkan arus perdagangan di antara kedua negara," kata dia.

Lebih lanjut, menurut Heru, Bea dan Cukai berharap melalui pertemuan ini dihasilkan rekomendasi dan rencana kegiatan yang dapat memberikan nilai tambah bagi Indonesia dan meningkatkan kemampuan dan pengetahuan pejabat dan pegawai Bea Cukai.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

 

Bea Cukai Pangkas Waktu Urus Bebas Pajak Impor

Sebelumnya Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) memangkas waktu pelayanan untuk mengurus permohonan fasilitas pembebasan fiskal atas impor barang operasi bagi para Kontraktor Kontrak Kerja Sama ‎(KKKS) yang mengeruk minyak dan gas (migas) di Indonesia. Pemotongan waktu layanan ini separuhnya dari 42 hari menjadi 24 hari.

Hal ini ditunjukkan dengan penandatanganan ‎Memorandum of Understanding (MoU) antara Direktorat Jenderal Migas, Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas), dan Pengelola Portal Indonesia National Single Window (PP INSW) di kantor pusat Ditjen Bea dan Cukai, Jakarta, Kamis 16 November 2017.

Direktur Jenderal Bea dan Cukai Kemenkeu, Heru Pambudi mengungkapkan, sistem informasi antar Kementerian/Lembaga berjalan sendiri-sendiri dan belum terintegrasi, serta penginputan data yang berulang membuat proses permohonan pemberian fasilitas fiskal menjadi panjang.

Fasilitas fiskal ini adalah bebas bea masuk dan pajak dalam rangka impor bagi KKKS yang melakukan eksplorasi dan eksploitasi migas di Indonesia.

"KKKS saat ini harus mengajukan permohonan kepada tiga K/L untuk membuat proses permohonan fasilitas fiskal ini, yaitu SKK Migas, Ditjen Migas dan DJBC. Total transaksi yang dibutuhkan enam kali dan butuh waktu 42 hari kerja sampai mendapatkan Surat Keputusan Masterlist," jelas Heru.

Kini, DJBC mengintegrasikan seluruh sistem informasi dengan K/L terkait. Dengan demikian‎, Heru bilang, hanya perlu melakukan sekali submit dalam mengajukan permohonan dengan menggunakan sistem single submission (ssm) melalui portal INSW. Mulai dari pengajuan Rencana Kebutuhan Barang Impor, Rencana Impor Barang, sampai dengan Surat Keputusan Fasilitas Pembebasan BM dan Pajak Dalam Rangka Impor.

"Jadi untuk kebijakan ini betul-betul paperless, tidak ‎ada lagi hardcopy karena semuanya sudah otomatisasi secara penuh," tuturnya.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya