Kembangkan Energi Terbarukan, 2 Hal Jadi Acuan Pertamina

Pertamina sudah mulai melakukan berbagai langkah untuk meningkatkan kontribusi energi terbarukan.

oleh Pebrianto Eko Wicaksono diperbarui 12 Des 2017, 19:10 WIB
Diterbitkan 12 Des 2017, 19:10 WIB
Ilustrasi energi bersih dan terbarukan
Ilustrasi (iStock)

Liputan6.com, Jakarta PT Pertamina (Persero) berkomitmen meningkatkan porsi energi baru dan terbarukan (EBT). Ini sejalan dengan target porsi nasional sebesar 23 persen dari total bauran energi nasional pada tahun 2025.

Direktur Gas Pertamina Yenni Andayani mengatakan, sebagai perusahaan negara, Pertamina terus berkomitmen meningkatkan porsi EBT, di tengah pergeseran bisnis energi yang mengarah ke pengembangan EBT.

Pertamina juga melakukan beberapa transformasi bisnis yang berfokus kepada pengembangan EBT.

"Ini adalah komitmen kuat dari Pertamina untuk kita mengembangkan potensi bisnis energi baru dan terbarukan di Indonesia," kata Yenni, dalam Pertamina Energy Forum 2017, di kawasan Kuningan, Jakarta, Selasa (12/12/2017).

Menurut Yenni, Pertamina melihat dari dua parameter dalam mengembangkan energi baru dan terbarukan, yakni seberapa menarik sebuah proyek dari sisi ekonomi (economy attractiveness) serta ketersediaan teknologi yang mendukung (technology maturity).

"Kedua paramater tersebut adalah pertimbangan kita dalam mengeksekusi kesempatan bisnis," dia menjelaskan.

Saat ini EBT yang masuk dalam prioritas kedua pertimbangan tersebut dan telah dieksekusi Pertamina, yaitu panas bumi, biodiesel, biomass, mini hydro, dan tenaga surya.

Namun ada. beberapa EBT yang dievaluasi dan masih dalam pengembangan komersil, seperti wind power, hydro large, bioavture dan bioethanol.

"Salah satu yang kita kembangkan saat ini adalah solar PV. Saat ini sudah terpasang sebesar 1 Mega Watt dari instalasi PV di kantor pusat Pertamina dan area perumahaan kilang Cilacap. Hal ini akan terus berkembang ke area, unit dan anak perusahaan Pertamina yang lain di seluruh Indonesia," dia menjelaskan.

Direktur Utama Pertamina Elia Massa mengakui sektor minyak dan gas bumi masih menjadi bisnis utama Pertamina. Namun, Pertamina menyadari sumber daya minyak dan gas bumi terbatas.

Pertamina sudah mulai melakukan berbagai langkah untuk meningkatkan kontribusi energi terbarukan. "Migas sangat terbatas, EBT Itu energi masa depan," tutup Elia.

Inspiratif, Desa Ini Ubah Limbah Berbahaya Jadi Sumber Energi

Di awal 1990-an, Saehudin tercenung mendapati ratusan bangkai ikan nila dan mas mengambang di kolam. Bau bangkai meruap, bercampur dengan busuknya limbah tahu yang mengalir di parit di Desa Kalisari, Kecamatan Cilongok, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah.

Dan bagi Saehudin, kematian ikan-ikannya itu bukan kali pertama terjadi. Saat debit air turun, dan parit dipenuhi limbah dari puluhan perajin tahu, ikan-ikan tak kuasa bertahan.

Namun, ia tak bisa berbuat banyak. Sebab, ia sendiri adalah salah satu perajin tahu yang juga membuang limbah di parit itu.

Tak hanya Saehudin. Petani lainnya, Darsono, mengalami penurunan hasil panen padi.

Limbah tahu yang mengalir ke lahan pertanian menyebabkan ketidakseimbangan unsur hara dalam tanah. Sawah asam dan kelebihan nitrogen. Akibatnya, bulir padi "njepluk" alias hampa.

Sejak 1970-an, Desa Kalisari, Kecamatan Cilongok, Kabupaten Banyumas, dikenal sebagai salah satu penghasil tahu terbesar di Banyumas. Tahun demi tahun jumlah produksi meningkat. Hal ini berimbas pada tercemarnya air dan lingkungan mereka.

Semakin hari, jumlah perajin tahu bertambah banyak. Seperempat lebih keluarga di desa ini memang bertumpu pada produksi tahu. Limbah cair dan padat menjadi persoalan besar. Sungai-sungai nan jernih berubah menjadi keruh, lagi berbau busuk.

Tak pelak, bau busuk limbah tahu menyelinap hingga desa-desa tetangga. Sektor perikanan lumpuh. Begitu pula dengan pertanian yang hasilnya terus menurun.

Padahal, sebagian besar warga lain berprofesi sebagai petani dan pembudidaya ikan. Tentu, mereka terkena imbasnya. Ikan mati lantaran air sungai tercemar polutan cair tahu. Sawah tak terurus karena terlalu banyak kadar nitrogen larut dalam air. Hal ini menyebabkan sawah menjadi tak lagi subur.

Para pengrajin lantas tersadar, mereka harus berjuang untuk menyelesaikan masalah pencemaran ini. Pada 1992, warga secara swadaya membuat instalasi pengolahan limbah, semacam penampung kotoran atau septic tank untuk menampung limbah cair dan padat. Kemudian, limbah ini diubah menjadi biogas yang bisa digunakan untuk sumber energi pengganti minyak dan gas.

Tetapi, itu hanya sesaat. Septic tank yang dibuat ala kadarnya ini tak berusia panjang. Limbah kembali menjadi persoalan besar di desa ini. Mereka kembali bergulat dengan bebauan tak sedap, pencemaran air dan penurunan hasil panen ikan dan pertanian.

"Dibangunnya kan juga seadanya. Teknologi dan materialnya sederhana. Tidak bisa bertahan lama," tutur Kepala Desa Kalisari, Aziz Samsuri, beberapa waktu lalu.

Aziz pun mengakui, sudah sejak lama masyarakat ingin menanggulangi pencemaran lingkungan yang terjadi di Kalisari. Beruntung, pada tahun 2009 Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menguji coba Instalasi Pengolahan Limbah (IPAL) dengan teknologi baru.

Limbah cair, diubah menjadi gas metana. Gas metana itu kemudian disalurkan ke 260-an keluarga dengan pipa-pipa bawah tanah. Dari gas metana ini, para ibu bisa memasak. Mereka memperoleh sumber energi terbarukan dan murah.

Keseriusan masyarakat Kalisari dalam pengolahan limbah juga terbukti ketika Kementerian Riset dan Teknologi kembali memilih Desa Kalisari menjadi lokasi pembangunan instalasi IPAL Biogas Limbah Tahu (Biolita) pada 2012 dan 2014. Lima IPAL dibangun di wilayah ini.

"Kemudian Biolita yang nomor lima, adalah biolita swadaya. Ini satu-satunya biolita di Indonesia yang dibangun secara swadaya," dia mengklaim.

Seorang ibu rumah tangga, Riyanti mengakui biogas bisa menghemat pengeluaran bahan bakar gas untuk rumah tangga. Dalam sebulan, tiap keluarga hanya dibebani Rp 15 ribu per bulan. Sungguh ringan.

Ia bercerita, dalam sebulan biasanya menghabiskan tiga atau empat tabung elpiji. Namun, semenjak instalasi gas metana berfungsi, ia jadi bisa mengirit. Sebulan, Riyanti hanya butuh satu tabung gas isi tiga kilogram.

"Biasanya kan beli setiap minggu sekali, sekarang baru habis satu bulan, atau sehabisnya, Mas. Jadi bisa irit," ujar Riyanti dengan wajah semringah.

Tak hanya ibu rumah tangga yang senang, ternyata pengolahan limbah ini juga membuat girang petani ikan yang tadinya kerap merugi. Ikan-ikan mereka tak lagi mati. Pertanian pun pulih seperti sediakala.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya