Liputan6.com, Jakarta - Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Kepala Bappenas, Bambang Brodjonegoro menyinggung daftar orang-orang terkaya di Indonesia versi Forbes yang didominasi pada kegiatan bisnis sumber daya alam, consumer goods, dan rokok. Sementara di industri manuktur jumlahnya masih minim.
"Sangat sedikit sekali konglomerat kita yang basisnya manufaktur," kata Bambang usai menghadiri Outlook Pasar Modal 2018 di Gedung Bursa Efek Indonesia (BEI), Jakarta, Kamis (14/12/2017).
Dia mencontohkan, daftar 100 atau 500 orang terkaya Indonesia yang dikeluarkan Forbes menunjukkan sebagian besar merupakan konglomerat di sektor sumber daya alam, seperti perkebunan dan pertambangan.
Advertisement
Selanjutnya yang berkecimpung di sektor consumer goods yang terdapat unsur industri manufaktur, namun terbatas pada pengolahan makanan dan minuman. Berikutnya adalah pengusaha rokok.
Baca Juga
"Konglomerat di industri tekstil, garmen ada sih tapi jumlahnya sedikit," ujar Bambang.
Hal ini, diakui mantan Menteri Keuangan itu yang membedakan antara Indonesia dengan Taiwan dan Korea. "Dua negara itu bisa menjadi negara maju dalam waktu cepat, tapi kenapa kita malah susah payah. Itu karena manufaktur masih menghambat," tegasnya.
Bambang menjelaskan, manufaktur Indonesia kurang terdiversifikasi sehingga menjadi penghambat pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Kondisi tersebut bisa dibandingkan dengan dua negara, yakni Sri Lanka dan Vietnam.
Lebih jauh katanya, Sri Lanka mulanya seperti Indonesia mengembangkan industri manufaktur dan mulai banyak ekspor produk. Akan tetapi suatu ketika memutuskan berhenti pada diversifikasi manufaktur, dan memilih fokus pada pengembangan industri garmen.
"Mereka mendorong upah buruh murah, tapi kan tidak akan selamanya murah karena akan ada negara lain yang bilang saya lebih murah dari Sri Lanka. Hasilnya yang terjadi relokasi pabrik," tegas Bambang.
Sementara Vietnam, sambung Bambang, kian berlari kencang. Negara ini mengembangkan industri manufaktur garmen, tekstil, lalu lompat ke elektronik, mesin, otomotif, dan lainnya.
"Jadilah Vietnam kompetitor kita untuk menarik aliran investasi asing (foreign direct invetment/FDI) di sektor manufaktur. Mereka hajar terus industri ini karena mereka tahu itu sumber pertumbuhan," paparnya.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Miskin Konglomerat Infrastruktur
Kondisi lainnya di Indonesia, kata Bambang, belum ada konglomerat atau perusahaan di Indonesia yang menjalani bisnis inti di bidang infrastruktur. Saat ini, infrastruktur masih sebatas bisnis sampingan mereka.
"Kebanyakan core bisnisnya batu bara, lalu masuk ke listrik atau seperti Astra core bisnis otomotif tapi punya usaha lain infrastruktur. Jadi infrastruktur hanya sebagai sampingan, belum core bisnis," jelas dia.
Hal ini jauh berbeda dengan di negara Australia dan Jepang. "Di Australia dan Jepang, saya ketemu pengusaha yang bisa hidup dari infrastruktur. Dan itu kita belum punya, kebanyakan masih sampingan, kecil-kecil," tukas Bambang.
Advertisement