Liputan6.com, Surabaya - Selama ini pembangunan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) kerap kali mendapatkan penolakan dari masyarakat karena dapat menimbulkan polusi dari batu bara. Namun, hal itu akhirnya terbantahkan dengan Proper Emas yang diraih PT Pembangkitan Jawa Bali (PJB) untuk pengelolaan PLTU Paiton Unit 1 dan 2.
Proper Emas merupakan penghargaan tertinggi dan terbaik bagi perusahaan-perusahaan di Indonesia yang peduli terhadap lingkungan.
Advertisement
Baca Juga
Pada 2017, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menetapkan 19 perusahaan sebagai penerima penghargaan Proper Emas dan 150 perusahaan sebagai penerima penghargaan Proper Hijau, sedangkan 1.486 perusahaan mendapat peringkat Biru, 130 perusahaan berperingkat Merah, dan 1 perusahaan berperingkat Hitam.
Pencapaian tersebut merupakan buah manis dari penantian panjang PJB selama 13 tahun mengikuti ajang penghargaan bergengsi di bidang lingkungan hidup. Sejak 2004, pembangkit PJB pernah memperoleh beberapa kali proper biru dan hijau untuk sejumlah pembangkit yang dikelola perseroan.
"Tahun ini seluruh pembangkit termal PJB dapat Proper Hijau. PLTU Paiton adalah pembangkit pertama di Indonesia yang raih proper emas," kata Direktur Utama PT Pembangkitan Jawa Bali (PJB) Iwan Agung Firstantara di Surabaya, Kamis (28/12/2017).
PJB dalam mengelola PLTU Paiton tidak hanya menciptakan lingkungan pembangkitan yang bersih dan asri, tapi juga turut memberdayakan masyarakat sekitar.
Di sisi lingkungan bisa dilihat dari terumbu karang dan biota laut lainnya masih tetap terjaga meski berada di dekat pembangkit. Sehingga aktivitas nelayan untuk mencari ikan juga tidak terganggu.
"Kalau tidak percaya, coba snorkeling di laut dekat pembangkit Paiton, itu ikannya banyak dan tidak ada pencemaran sama sekali. Banyak orang snorkeling di sana," kata Iwan.
Bahkan abu hasil pembakaran batu bara dari PLTU Paiton sudah dinyatakan tidak berbahaya bagi lingkungan dan bisa digunakan untuk bahan baku semen dan beton. Padahal, PLTU Paiton tergolong sudah tua karena beroperasi sejak 1993 atau sekitar 24 tahun lamanya.
"Dulu PLTU itu identik dengan kotor dan mencemari lingkungan tapi itu dulu. Pada 2007, kami investasi puluhan miliar untuk membeli mesin penangkap debu untuk meminimalkan pencemaran lingkungan," ungkap Direktur Operasional I PJB, Sugianto.
Meski sudah berusia 24 tahun, lanjut Sugianto, PLTU Paiton masih bisa beroperasi optimal. PJB gencar melakukan pembenahan manajemen, modernisasi peralatan pembangkit dan terus meningkatkan dari sisi teknologi.
"Jadi masalahnya bukan di umur pembangkit, tapi bagaimana kita mengelola pembangkit itu dengan baik," tuturnya.
Tonton Video Pilihan Ini:
Â
Pemberdayaan masyarakat
Berawal dari kelangkaan yang mengerek harga pupuk, anak usaha PLN ini mencarikan solusi untuk masalah tersebut, yaitu dengan membantu warga dalam penyediaan pupuk organik dengan memanfaatkan kotoran sapi yang belum dimanfaatkan warga.
Tak tanggung-tanggung, PJB bahkan memberi pelatihan gratis kepada sejumlah petani di IPB untuk belajar proses pembuatan pupuk organik yang baik. PJB juga memberikan bantuan berupa peralatan pertanian.
Para petani ini kemudian memproduksi pupuk organik yang ternyata bisa meningkatkan hasil panen dan tentunya membuat kantong makin tebal. Tercatat, pendapatan warga mencapai Rp 490 juta dalam setahun untuk 9 hektare lahan. Sementara pendapatan perorang Rp 1,9 juta lebih tinggi dari UMR Probolinggo.
"Dari yang hasil panen hanya 6,7 ton per hektare, naik jadi 10,7 ton per hektare. Lalu biaya beli pupuk yang tadinya Rp 6 juta per hektare pakai pupuk organik turun jadi Rp 4,6 juta per hektare," cerita Iwan.
Hal ini membuat para petani lainnya yang tadinya sudah terbiasa pakai pupuk kimia, jadi ikut beralih ke pupuk organik. Para petani yang ikut pelatihan di IPB menjadi pelatih bagi warga lainnya yang ingin belajar soal pembuatan pupuk organik.
"Keberhasilan ini yang dinilai sehingga PLTU Paiton mendapat penghargaan Proper Emas," tegasnya.
Advertisement