Liputan6.com, Jakarta - Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) akan mengajukan kenaikan subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM) jenis Solar sebesar Rp 500 per liter kepada DPR. Jika dikabulkan, maka subsidi Solar akan menjadi Rp 1.000 per liter.
Pelaksana Tugas (Plt) Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi (Dirjen Migas) Kementerian ESDM, Ego Syahrial mengatakan, pemerintah akan mengusulkan penambahan subsidi Solar dari saat ini Rp 500 per liter menjadi Rp 1.000 per liter.
Advertisement
Baca Juga
"Iya, kan Rp 500 per liter ya, naikin (jadi) Rp 1.000 per liter lah," kata Ego, di Kantor Kementerian ESDM, Jakarta, Senin (12/3/2018).
Menurut Ego, penambahan subsidi Solar tersebut untuk meringankan beban PT Pertamina (Persero) selaku badan usaha yang bertugas menyalurkan solar Subsidi, atas keputusan pemerintah menahan kenaikan harga solar Subsidi sampai 2019. Sementara harga minyak di pasar terus mengaami kenaikan.
"Berapa sih bedanya antara keekonomian dan harganya. Tapi minimal kan supaya jangan terlalu berat (Pertamina)," tutur Ego.
Ego mengungkapkan, saat ini Kementerian ESDM sedang mempersiapkan usulan penambahan subsidi Solar sebesar Rp 500 per liter ke DPR. Dengan begitu jika dikabulkan, maka subsidi Solar menjadi Rp 1.000 per liter.
"Ini sedang ngomong ke DPR untuk minta persetujuan (kenaikan subsidi Solar)," tandas Ego.
Tonton Video Pilihan di Bawah Ini:
Harga Premium dan Solar Tak Naik, Pertamina Bakal Lakukan Ini
PT Pertamina (Persero) akan memangkas anggaran biaya operasi, bahwa pemerintah memutuskan tidak menaikkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) jenis Premium dan Solar bersubsidi setelah 31 Maret 2018.
Direktur Keuangan Pertamina Arief Budiman mengatakan, kebijakan penetapan harga Premium dan Solar subsidi merupakan kewenangan pemerintah, sedangkan Pertamina hanya menjalankan saja.
Akan tetapi, jika pemerintah memutuskan tidak mengubah harga kedua jenis BBM tersebut, Pertamina akan meningkatkan efisiensi untuk menjaga stabilitas keuangannya.
"Kalau sejauh ini pemerintah masih me-review formulasi harga. Tapi kalaupun enggak naik ya kita cari jalannya," kata Arief, di Gedung DPR, Jakarta, Senin (29/1/2018).
Menurut Arief, salah satu sasaran efisiensi Pertamina jika pemerintah tidak menaikkan harga BBM adalah menekan biaya operasi (Operational Expenditure/Opex). Dia belum bisa merinci biaya operasi yang akan dipangkas.
"Kalaupun enggak dinaikin, ya kita tekan lagi di Opex, ya kita lihat lagi nanti di mana," tutur dia.
Arief mengungkapkan, bisnis hilir Pertamina khususnya penyaluran Premium dan Solar subsidi menyumbang defisit terbesar. Hal ini akibat tidak disesuaikannya harga kedua jenis BBM tersebut dengan kenaikan minyak dunia.
"Kami memang banyak di hilir daripada di hulu. Hampir empat kalinya secara balance-nya," tutur dia.
Sementara itu, Diretur Utama PT Pertamina Elia Massa Manik mengungkapkan, laba bersih Pertamina pada 2017 mencapai US$ 2,41 miliar, angka ini turun 24 persen dibanding laba bersih 2016 sebesar US$ 3,15 miliar. Penurunan laba bersih tersebut akibat tidak disesuaikannya harga Premium dan Solar bersubsidi, dengan kenaikan harga minyak dunia sepanjang 2017.
"Belum ada kebijakan penyesuaian harga premium solar, sampai dengan kuartal I 2018 ini. Ini berimbas pada penurunan laba bersih perusahaan sebesar 24 persen dibandingkan 2016," tutur Massa.
Advertisement