Rupiah Tersungkur, Sri Mulyani Minta Masyarakat Tenang

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati meminta kepada masyarakat Indonesia untuk tenang menghadapi gejolak nilai tukar rupiah.

oleh Fiki Ariyanti diperbarui 26 Apr 2018, 14:44 WIB
Diterbitkan 26 Apr 2018, 14:44 WIB
(Foto: Liputan6.com/Fiki A)
Menkeu Sri Mulyani

Liputan6.com, Jakarta - Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati meminta masyarakat Indonesia untuk tenang menghadapi gejolak nilai tukar rupiah. Kurs mata uang Garuda hari ini melemah ke posisi 13.930 per dolar AS.

"Dalam hal ini (penguatan dolar AS), masyarakat diharapkan tenang karena pergerakan ini berasal dari AS dan pengaruhnya ke mata uang dunia," kata dia di Gedung DPR, Jakarta, Kamis (26/4/2018).

Sri Mulyani menjelaskan, pelemahan rupiah lebih kecil atau relatif sama dibanding mata uang negara maju dan emerging lain yang mencapai lebih dari dua persen.

"Dalam dua hari terakhir, dibanding mata uang negara maju dan emerging, rupiah masih pada kisaran yang relatif sama atau lebih baik sedikit," ujarnya.

"Beberapa mata uang negara maju terdepresiasi di atas dua persen. Mata uang di kawasan kita (ASEAN) pun di atas itu. Bahkan, India terdepresiasi lebih dalam karena ingin memacu ekspor," Sri Mulyani menambahkan.

Lebih jauh dia mengungkapkan, penyebab kurs rupiah melemah lebih banyak dipengaruhi kebijakan ekonomi dari pemerintah AS seiring dengan perbaikan data ketenagakerjaan dan inflasi di Negeri Paman Sam.

"Perekonomian AS, baik data employment maupun inflasi menunjukkan suatu recovery. Perubahan kebijakan fiskal, seperti pajak dan perdagangan, sehingga AS akan melakukan berbagai kebijakan meng-adjust," paparnya.

Selain itu, ucapnya, The Fed juga akan menaikkan suku bunga acuan atau Fed Fund Rate sebanyak tiga sampai empat kali di 2018. Namun demikian, diakui Sri Mulyani, The Fed akan mengerek suku bunga acuan secara hati-hati.

"Adanya outlook kebijakan AS, kebijakan fiskal, seperti penurunan pajak dan tambahan belanja akan meningkatkan defisit mereka, sehingga kita sudah akan memprediksi terjadi kenaikan treasury (imbal hasil obligasi) tenor 10 tahun," jelas Sri Mulyani.

Menurut dia, kebijakan fiskal, moneter, dan perdagangan AS akan sangat mempengaruhi dunia, termasuk berdampak ke nilai tukar mata uang rupiah maupun negara lain. Pasalnya AS merupakan negara terbesar di dunia.

"Tapi kita akan antisipasi dalam konteks pergerakan kebijakan (AS) ini terhadap mata uang dolar AS dan suku bunga mereka. Kita akan lihat kebijakan makro di Indonesia," pungkas Sri Mulyani.

Rupiah Kembali Melemah, Sentuh 13.940 per Dolar AS

Rupiah Melemah
Rupiah Melemah (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) kembali melemah pada perdagangan Kamis pekan ini. Ada banyak alasan yang membuat dolar AS terus menguat sepanjang pekan ini.

Mengutip Bloomberg, Kamis (26/4/2018), rupiah dibuka di angka 13.919 per dolar AS, menguat jika dibandingkan penutupan perdagangan sebelumnya yang ada di angka 13.921 per dolar AS.

Namun, sesaat kemudian rupiah kembali melemah bahkan sempat menyentuh level 13.940 per dolar AS. Jika dihitung dari awal tahun, pelemahan rupiah mencapai 2,74 persen.

Adapun berdasarkan Kurs Referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor) Bank Indonesia (BI), rupiah dipatok di angka 13.930 per dolar AS, melemah jika dibandingkan dengan patokan sehari sebelumnya yang ada di angka 13.888 per dolar AS.

Dolar AS memang terus menguat di kawasan Asia karena kenaikan imbal hasil surat utang pemerintah AS yang menembus angka 3 persen pada pekan ini. Angka tersebut pertama kalinya dalam tahun ini.

Kenaikan imbal hasil surat utang pemerintah AS ini karena adanya kekhawatiran mengenai peningkatan pasokan utang pemerintah AS dan tekanan inflasi dari kenaikan harga minyak.

Selain itu, rencana kenaikan suku bunga Bank Sentral AS atau the Federal Reserve (the Fed) juga menjadi alasan dolar AS menguat cukup tajam pada pekan ini.

"Kecuali ada kehancuran di pasar saham AS, dan tidak mungkin itu terjadi, sangat diragukan Bank Sentral AS tidak akan menaikkan suku bunga," jelas analis Oanda Singapura, Stephen Innes.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya