Liputan6.com, Jakarta - Nilai tukar rupiah sempat nyaris menyentuh 13.400 per dolar Amerika Serikat (AS). Tekanan terhadap mata uang Garuda ini berdampak pada pembengkakan nilai outstanding utang pemerintah mencapai Rp 10,9 triliun.
Berdasarkan data Kementerian Keuangan (Kemenkeu), total outstanding utang pemerintah sampai dengan Maret 2018 sebesar Rp 4.136,39 triliun. Dari jumlah itu, utang pemerintah dalam valuta asing (valas) sebesar USD 109 miliar.
Sementara itu, kurs rupiah masih bergejolak dan saat ini berada di posisi 13.888 per dolar AS, berdasarkan data kurs tengah Bank Indonesia (BI) atau JISDOR.
Advertisement
Baca Juga
Padahal di periode Maret, pemerintah menghitung total outstanding utang dengan kurs rupiah 13.750 per dolar AS. Itu artinya ada kenaikan signifikan yang berimbas pada jumlah utang pemerintah.
Jika ditelisik lebih dalam, patokan kurs rupiah di Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2018 sebesar Rp 13.400 per dolar AS.
Kepala Subdirektorat Perencanaan dan Strategi Pembiayaan Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan, Erwin Ginting, menjelaskan, pelaporan posisi utang pemerintah RI di akhir periode tertentu menggunakan nilai tukar pada saat itu.
"Jadi untuk outstanding per akhir Maret 2018 yang sebesar Rp 4.136 triliun dengan komponen utang valas USD 109 miliar, sudah menggunakan kurs sekitar Rp 13.750 per dolar AS," ujarnya kepada Liputan6.com, Jakarta, Rabu (25/4/2018).
Erwin mengungkapkan, apabila stok utang valas senilai USD 109 miliar dikonversi dengan penguatan dolar AS sebesar Rp 100, maka ada kenaikan atau pembengkakan utang sebesar Rp 10,9 triliun.
"Jadi total stok utang naik Rp 10,9 triliun," tegasnya.
Jika dihitung dengan penambahan utang Rp 10,9 triliun akibat pelemahan rupiah, total outstanding utang pemerintah naik dari Rp 4.136,39 triliun menjadi Rp 4.147,29 triliun.
Â
Masih Aman
Tentunya kondisi ini semakin menambah beban bagi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) pada 2018, terutama dalam hal pembayaran cicilan dan bunga utang pemerintah setiap bulan.
"Secara parsial di sisi pembayaran utang jatuh tempo akan ada sedikit kenaikan jika terjadi pelemahan," Erwin menerangkan.
Menurutnya, pembayaran utang oleh pemerintah menggunakan nilai tukar saat itu atau saat transaksi. Namun, beban pemerintah dalam membayar utang bisa lebih ringan karena ada penerimaan dalam mata uang asing.
"Pemerintah kan punya penerimaan dari valas. Kalau ada penerimaan valas US$ 500 juta, secara pengelolaan kas pemerintah bisa dipakai untuk bayar utang US$ 500 juta. Ini yang namanya natural hedging (lindung nilai natural), sehingga rugi kurs bisa dikelola," katanya.
Untuk diketahui, utang jatuh tempo tahun ini sebesar Rp 384 triliun. Sementara realisasi pembayaran cicilan pokok pinjaman luar negeri hingga Maret 2018 sebesar Rp 11,34 triliun atau 16,25 persen dari target Rp 69,79 triliun sepanjang tahun ini.
Sedangkan pembayaran bunga utang selama tiga bulan ini sudah mencapai Rp 68,46 triliun atau 28,69 persen dari patokan Rp 238,61 triliun di APBN 2018.
"Tapi ini (kenaikan stok utang pemerintah) masih aman," pungkas Erwin.
Advertisement