Minim Pelatihan, Siapkah Pekerja RI Hadapi Revolusi Industri 4.0?

Perubahan pola produksi yang berbasis pada otomatisasi dan digitalisasi membutuhkan keahlian dan keterampilan tertentu dari pekerja.

oleh Merdeka.com diperbarui 08 Mei 2018, 16:28 WIB
Diterbitkan 08 Mei 2018, 16:28 WIB
Ilustrasi industri 4.0
Ilustrasi industri 4.0 (iStockPhoto)

Liputan6.com, Jakarta - Pekerja dan angkatan kerja yang memiliki keahlian dan keterampilan, memiliki peluang lebih besar mendapatkan pekerjaan yang lebih baik dan berpotensi meningkatkan posisi tawar. Sayangnya, jumlah pekerja dan angkatan kerja yang memiliki kesempatan mendapatkan pelatihan kerja masih sangat minim.

Perwakilan Perkumpulan Prakarsa, Herni Ramdlaningrum mangatakan, dalam survei yang dilakukan oleh Perkumpulan Prakarsa di lima kabupaten kota yaitu Yogyakarta, Kulonprogo, Wonosobo, Bojonegoro, dan Malang dengan 789 responden, hanya 14 persen yang menyatakan pernah mengikuti pelatihan kerja-pelatihan vokasi.

Ditemukan juga ada pekerja yang berusia 15 tahun. Itu 27 persen (dari total responden). Alasan mereka bekerja adalah karena tidak memiliki biaya untuk mengakses pendidikan (formal)," ungkapnya dalam diskusi di, Cikini, Jakarta, Selasa (8/5/2018).

Rendahnya pekerja yang memiliki kesempatan mendapatkan pelatihan juga tercermin di dalam data Survei Kerja Nasional (Sakernas) BPS. Rata-rata hanya 6 persen pekerja di nasional yang pernah mengikuti pelatihan dari 2008 sampai 2015.

Kondisi ini tentu menghawatirkan. Apalagi di tengah berlangsungnya Revolusi Industri ke-4 yang berpotensi mengubah struktur produksi kerja.

Perubahan pola produksi yang berbasis pada otomatisasi dan digitalisasi membutuhkan keahlian dan keterampilan tertentu dari pekerja. Organisasi perburuhan internasional (ILO) bahkan memprediksi akan banyak pekerja kehilangan pekerjaan akibat otomatisasi dan digitalisasi.

 

Minim pelatihan

Ilustrasi industri 4.0
Ilustrasi industri 4.0 (iStockPhoto)

Program Manager INFID, Siti Khoirun Ni’mah, menekankan minimnya pelatihan kerja bagi pekerja dan angkatan kerja, menjadi tantangan serius Indonesia dan tantangan serius masa depan Indonesia.

"Hal ini harus dipecahkan pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Untuk itu, kebijakan pemerintah dalam industri 4.0 haruslah berorientasi pada pekerja dan angkatan kerja. Dan memastikan pekerja yang sekarang berada pada struktur produksi tidak kehilangan pekerjaan menjadi prioritas kebijakan pemerintah," katanya.

Beberapa hal yang perlu dilakukan antara lain, meningkatkan investasi pada pekerja, salah satunya dengan menambah jumlah balai-balai latihan kerja di berbagai daerah di Indonesia.

"Keberadaan pelatihan kerja yang memberikan jenis keahlian dan keterampilan seiring dengan perkembangan industri haruslah merata ada di berbagai daerah. Balai-balai latihan kerja tersebut dapat diakses pekerja di bebagai daerah di Indonesia," jelasnya.

Pemerintah juga perlu menambahkan anggaran pelatihan kerja di dalam Anggaran dan Belanja Pemerintah Nasional dan Daerah (APBN/APBD).

Saat ini alokasi anggaran di bidang ketenagakerjaan masih sangat rendah. Jauh dibandingkan dengan negara-negara lain, termasuk negara-negara di Asean seperti Malaysia dan Singapura.

Alokasi anggaran oleh pemda (Provinsi, Kab dan kota) untuk pelatihan kerja, bimbingan kerja dan pemagangan juga sangat minimal.

 

Penguatan Dialog

Ilustrasi industri 4.0
Ilustrasi industri 4.0 (iStockPhoto)

Selain itu, penguatan dialog multi-pihak dalam kebijakan ketenagakerjaan di antaranya dengan melibatkan serikat pekerja dan masyarakat sipil. Menurut dia, selain dunia industri, serikat pekerja dan masyarakat sipil haruslah dilibatkan dalam setiap kebijakan ketenagakerjaan menghadapi industri 4.0.

Untuk itu, pelibatan serikat pekerja dapat dilakukan dalam hal memecahkan masalah yang sulit seperti merger dan konsolidasi, regulasi baru baik dari pemerintah maupun industri, alih daya dan adopsi teknologi baru atau peningkatan/modifikasi teknologi yang sudah ada.

"Menyusun Rencana Aksi Pelatihan Kerja sebagai bagian dari Strategi Indonesia menghadapi Industri 4.0. Rencana aksi tersebut haruslah sejalan antara strategi industri dan sumber daya manusia. Rencana Aksi juga menjawab masalah terbatasnya jumlah pekerja yang memiliki keahlian dan meningkatkan keahlian pekerja yang sekarang ada di pasar kerja," tandasnya.

Reporter: Wilfridus Setu Embu

Sumber: Merdeka.com

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya