Liputan6.com, Jakarta - Wakil Ketua DPR Fadli Zon kembali berulah lewat twitnya yang menilai Indonesia sudah berada di tahap awal krisis. Politikus ini juga menganggap pemerintah telah gagal dalam menjaga stabilitas rupiah karena akan semakin terbebani dengan utang dan melunturnya kepercayaan investor terhadap pemerintah.Â
Unggahannya tersebut mendapat reaksi dari Kementerian Keuangan (Kemenkeu). Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Informasi Kemenkeu, Nufransa Wira Sakti menegaskan, utang merupakan bagian tak terpisahkan dari struktur Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) secara keseluruhan.
"Utang tidak bisa lepas dari penerimaan dan belanja negara. Utang merupakan kebijakan yang diambil sebagai konsekuensi dari defisit karena belanja lebih besar daripada penghasilan," ujar dia di Jakarta, Rabu (16/5/2018).
Advertisement
Baca Juga
Nufransa menjelaskan, pemerintah bisa saja tidak berutang. Caranya dengan meningkatkan penerimaan atau mengurangi belanja. Sambungnya, alokasi belanja sudah pasti, karena masing-masing Kementerian/Lembaga dan pemerintah daerah sudah punya daftar belanja yang harus dipenuhi, sehingga tidak bisa dikurangi.
"Yang menjadi perhatian adalah bagaimana menempatkan alokasi berdasarkan skala prioritas program utama pemerintah," ujarnya.
Saat ini, lanjut dia, pemerintah fokus pada pembangunan infrastruktur fisik dan sumber daya manusia melalui pendidikan dan kesehatan, serta jaminan sosial. Mengingat kebutuhan yang sangat besar untuk mengejar ketertinggalan Indonesia di bidang tersebut, artinya belanja negara tidak bisa dikurangi.
Alternatif kedua adalah dengan meningkatkan penerimaan negara, terutama dari pajak. Pemerintah, kata Nufransa, bisa saja menaikkan tarif pajak sehingga mendapatkan penghasilan secara cepat untuk menutupi belanja negara.
"Namun itu tidak dilakukan, sehingga pemerintah memilih alternatif melalui berbagai terobosan kebijakan dan struktural seperti tax amnesty, pembenahan teknologi informasi dan proses bisnis serta pemberian insentif dan relaksasi pajak," paparnya.
Pemerintah terus mengintensifkan reformasi di sektor perpajakan, yaitu pajak dan bea cukai. Dengan kondisi seperti itu, tambahnya, utang menjadi alternatif pembiayaan yang juga memerlukan persetujuan dari DPR melalui Badan Anggaran.
Setelah disetujui Banggar, Rancangan APBN dibawa ke sidang paripurna DPR. Melalui sidang paripurna DPR yang dipimpin oleh para unsur pimpinan DPR, salah satunya Fadli Zon, RAPBN disahkan menjadi Undang-Undang APBN.
"Jadi selain bagian kebijakan fiskal, utang dalam APBN juga menjadi proses politik karena harus disetujui oleh wakil rakyat di DPR," tegasnya.
Nufransa mencontohkan, dalam APBN 2018 yang telah disetujui DPR, utang merupakan konsekuensi dari defisit APBN sebesar Rp 325,9 triliun. Pemenuhan kebutuhan pembiayaan tersebut dilakukan melalui penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) dan penarikan pinjaman.Â
Â
Pelemahan Rupiah
Di sisi lain, lebih jauh dijelaskan Nufransa, pelemahan rupiah dipengaruhi oleh kondisi global yang sedang mengalami sedikit goncangan akibat kebijakan fiskal dan moneter di Amerika Serikat (AS).
Pertama, lanjutnya, pengumuman rencana kenaikan suku bunga oleh Bank Sentral AS yang melebihi frekuensi biasanya. Adapula kebijakan pemangkasan tarif pajak sebagai bagian kebijakan fiskal di AS.
"Ini semua menyebabkan arus modal yang tadinya tersebar di beberapa negara akan berbalik menuju ke AS. Sehingga terjadi penguatan kurs dolar AS terhadap hampir semua mata uang dunia (broadbase)," paparnya.
"Jadi hal ini tidak terjadi hanya di Indonesia saja, tapi juga di banyak negara," Nufransa menambahkan.
Dia mengakui, fundamental perekonomian Indonesia yang kuat membuat nilai rupiah masih bisa bertahan dengan baik. Walaupun menembus 14.000 per dolar AS, dibandingkan dengan posisi akhir 2017, rupiah terdepresiasi di kisaran 3,88 persen.
"Persentase depresiasi ini masih lebih kuat bila dibandingkan Rusia (9 persen), Brasil (9 persen) dan Filipina (4 persen)," ucapnya.
Sementara cadangan devisa kita per akhir April 2018 masih berada pada posisi USD 124,86 miliar atau setara dengan 7,4 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri.
"Ini menunjukkan fundamental kita masih sangat kuat," tegas Nufransa.
Menurutnya, dinamika perekonomian global yang ditandai adanya perang dagang AS dan China, konflik geopolitik, dan konflik AS dan Iran turut berdampak negatif pada pasar keuangan dalam negeri.
Dalam tiga kali lelang terakhir, pemerintah mengambil penawaran yang masuk lebih rendah dari target indikatif yang diumumkan, terutama mengingat incoming bids yang relatif rendah karena investor cenderung wait and see terhadap perkembangan pasar keuangan global dan domestik.Â
"Jadi tidak benar bahwa pemerintah telah kehilangan kepercayaan dan kredibilitas karena transaksi utang tersebut," tegasnya.
Selain itu, kata Nufransa, beberapa investor juga menawarkan imbal hasil yang tidak wajar jika dibandingkan dengan kondisi di pasar sekunder. Posisi tawar Indonesia masih lebih tinggi, sehingga pemerintah memutuskan untuk tidak menjual Surat Utang Negara (SUN) pada lelang terakhir 8 Mei 2018.
"Diambilnya penawaran yang lebih rendah dari target belum mengganggu pemenuhan kebutuhan pembiayaaan APBN 2018," tuturnya.
Dia menerangkan, pemerintah menerapkan strategi front loading, di mana ketika kondisi pasar dalam keadaan bagus dan kondusif, pemerintah melakukan upsize penerbitan SUN.
Hingga saat ini, penerbitan SBN telah mencapai Rp 391,85 triliun (46,3 persen dari target gross issuance), atau Rp 189,14 triliun (45,6 persen dari target net issuance).
"Posisi kas pemerintah juga sedang berada pada level yang aman," katanya.
Pemerintah juga menyiapkan berbagai alternatif sumber pembiayaan lain, antara lain private placement (dengan demand yang masih cukup banyak), penambahan pembiayaan dari pinjaman (beberapa donor telah memberikan komitmennya).
Selain itu pemerintah tetap merencanakan akan menerbitkan Samurai Bond, dan dana investasi Badan Layanan Usaha.
Â
Â
Advertisement
Hanya Sementara
Pelemahan permintaan pada lelang SUN, menurut Nufransa, disebabkan ketidakpastian dan sentimen global, dan diharapkan sifatnya sementara.
"Kita percaya bahwa kondisi akan segera kembali pulih. Pada akhirnya, akan terjadi titik keseimbangan baru, the new normal," harapnya.
Dia menegaskan, pemerintah sudah siap dalam menghadapi hal ini. Pemerintah senantiasa waspada atas segala bergeraknya indikator perekonomian dan keuangan global, sehingga akan selalu profesional, tetapi tetap berhati-hati dalam menentukan kebijakan yang diambil. Ini semua dilakukan untuk menjaga kredibilitas APBN agar dapat menjadi instrumen yang menjadi solusi.
"APBN selalu dikelola agar dapat meningkatkan produktivitas bangsa sehingga dapat mengurangi kemiskinan dan kesenjangan, serta menciptakan lapangan kerja untuk mencapai masyarakat yang bermartabat, adil, dan makmur," tutup Nufransa.