Rupiah Tembus 14.148 per Dolar AS, Ini Tanggapan Sri Mulyani

Menkeu Sri Mulyani menuturkan, pemerintah dan Bank Indonesia akan bersama jaga ekonomi karena ketidakpastian global terutama berasal dari Amerika Serikat (AS).

oleh Liputan6.com diperbarui 18 Mei 2018, 15:30 WIB
Diterbitkan 18 Mei 2018, 15:30 WIB
Nilai Tukar Rupiah Terhadap Dolar Sudah Masuk Level Undervalued
Teller menukarkan mata uang dolar ke rupiah di Jakarta, Jumat (2/2). Deputi Gubernur Senior BI Mirza Adityaswara mengatakan, posisi nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat yang berada di level Rp13.700 hingga Rp13.800.(Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Jakarta - Kenaikan suku bunga acuan Bank Indonesia (BI) atau BI 7-Days Reverse Repo Rate sebesar 25 basis poin menjadi 4,50 persen tampak belum mampu memperkuat nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS). Hal tersebut dibuktikan dengan pelemahan rupiah yang sempat menyentuh 14.148 per USD menjelang akhir pekan ini.

Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati mengatakan, pemerintah bersama Bank Indonesia akan terus mencermati perkembangan yang terjadi dengan mata uang dolar AS. Hal ini terutama yang memang akan terus mengalami pergerakan dalam konteks normalisasi kebijakan di Amerika Serikat. 

"Pemerintah Indonesia dalam hal ini akan terus menjaga fondasi ekonomi Indonesia, baik dari sisi APBN yang kemarin sudah saya sampaikan, hasil dan kinerja sampai Mei menunjukkan APBN yang baik," ujar dia di Gedung DPR, Jakarta, Jumat (18/5/2018).

"Dari sisi pendapatan, perpajakan dan PNBP meningkat sangat signifikan dan belanja negara yang tetap terjaga dan defisit yang terus kami jaga sesuai UU APBN. Dalam artian itu, maka kami bisa memberikan kepastian," tambah dia. 

Sri Mulyani menjelaskan, di sisi lain BI memiliki bauran kebijakan yang akan disiapkan untuk menjaga stabilitas. Melalui perpaduan kerja sama tersebut, maka ekonomi dan pembangunan yang sedang dikerjakan tetap berjalan dengan baik. 

"Jadi, kami akan sama-sama menjaga perekonomian Indonesia karena ketidakpastian yang berasal dari policy yang berasal dari Amerika, baik policy ekonomi maupun policy di bidang geopolitik, pasti akan memengaruhi mulai dari harga minyak, suku bunga global, maupun mata uang," ujar dia.

Sebelumnya, nilai tukar rupiah terhadap Dolar Amerika Serikat (USD) bergerak melemah di perdagangan hari ini, Jumat 18 Mei 2018. Mengutip data Bloomberg, rupiah tercatat sempat menyentuh 14.148 per USD.

Rupiah melanjutkan pelemahan usai pembukaan, kemudian menguat kembali di level 14.125 per USD. Namun, Rupiah kembali melemah dan saat ini berada di level Rp 14.148 per USD.

Bank Indonesia (BI) memprediksi nilai tukar Dolar AS (USD) masih akan menekan mata uang negara lain. Hal tersebut karena pertumbuhan ekonomi global 2018 akan semakin baik. Hal itu terjadi meski berlangsung proses penyesuaian likuiditas global.

 

Reporter: Anggun P.Situmorang

Sumber: Merdeka.com

 

 

Alasan Dolar AS Masih Tekan Mata Uang Negara Lain

Nilai Tukar Rupiah Terhadap Dolar Sudah Masuk Level Undervalued
Teller menunjukkan mata uang dolar di Jakarta, Jumat (2/2). Dengan nilai tersebut posisi nilai tukar rupiah sudah masuk level undervalued, atau telah keluar dari level fundamentalnya. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Sebelumnya, Bank Indonesia (BI) prediksi dolar Amerika Serikat (AS) masih menekan mata uang negara lain. Hal tersebut karena pertumbuhan ekonomi global 2018 akan semakin baik meskipun berlangsung proses penyesuaian likuiditas global.

Gubernur Bank Indonesia, Agus Martowardojo mengatakan, pertumbuhan ekonomi global 2018 diperkirakan mencapai 3,9 persen atau lebih tinggi dari perkiraan sebelumnya 3,8 persen.

Dia menjelaskan, prediksi pertumbuhan tersebut terutama didorong oleh akselerasi ekonomi AS yang bersumber dari penguatan investasi dan konsumsi di tengah berlanjutnya normalisasi kebijakan moneter AS.

"Di tengah tren penguatan ekonomi dunia, likuiditas dolar AS cenderung mengetat, yang kemudian mendorong kenaikan imbal hasil surat utang AS dan penguatan dolar AS sehingga menekan banyak mata uang lainnya," kata Agus, di kantornya, Kamis 17 Mei 2018.

Agus mengatakan, ke depan, sejumlah risiko perekonomian global tetap perlu diwaspadai, antara lain, kenaikan Fed Fund Rate (FFR) dan imbal hasil surat utang Amerika Serikat, kenaikan harga minyak, ketegangan hubungan dagang AS-Tiongkok, serta isu geopolitik terkait pembatalan kesepakatan nuklir antara AS dan Iran.

"Dari Eropa, pertumbuhan ekonomi juga diperkirakan tumbuh lebih tinggi didukung perbaikan ekspor dan konsumsi serta kebijakan moneter yang akomodatif," ujar dia.

Sementara itu, untuk negara berkembang, pertumbuhan ekonomi Tiongkok diperkirakan tetap cukup tinggi ditopang kenaikan konsumsi dan investasi swasta serta proses penyesuaian ekonomi yang berjalan dengan baik.

"Prospek pemulihan ekonomi global yang membaik tersebut akan meningkatkan volume perdagangan dunia yang berdampak pada tetap kuatnya harga komoditas, termasuk komoditas minyak, pada 2018,” kata dia.

 

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya