Liputan6.com, Jakarta - Nilai tukar rupiah melemah sejak Maret 2018. Puncaknya, ketika rupiah menembus lebih dari 14.000 per dolar Amerika Serikat (AS) dan masih berlangsung hingga saat ini.
Pengamat Ekonomi Poltak Hotradero mengatakan, sebenarnya, angka 14.000 bukan merupakan ukuran untuk melihat parah atau tidaknya pelemahan yang dialami rupiah. Saat ini, rupiah melemah sekitar 3,7 persen, lebih baik dibandingkan Filipina peso yang sebesar 4,3 persen, India rupe 5 persen atau mata uang negara lain di dunia.
"Rupiah mengalami pelemahan tapi tidak sedalam dibandingkan negara lain," ujar dia di kawasan Pattimura, Jakarta, Kamis (17/5/2018).
Advertisement
Baca Juga
Bahkan menurut dia rupiah pernah melemah lebih parah dibandingkan saat ini, yaitu pada 2013 lalu. Saat itu, rupiah pelemahan rupiah mencapai 12 persen.
"Dulu melemahnya sekitar 12 persen sekarang melemahnya 4 persen. Maka posisi Indonesia lebih bagus dibandingkan 2013. Ini masih ada good news-nya‎. (Dulu) Dari dolar Rp 9.000, naik tajam. Ini perlu kita perhatikan," kata dia.
Oleh sebab itu, lanjut Poltak, parah atau tidaknya pelemahan rupiah bukan dilihat dari nominal, melainkan dari persentase tingkat depresiasinya terhadap dolar AS.
"Cara berpikir jangan berdasarkan nominal, karena aktivitas ekonomi itu sifatnya relatif. Kenapa di-over blown. Harus lihat dari persentasenya untuk melihat ukuran dari suatu mata uang. Karena ekonomi bertumbuh juga. Pada 2013 jauh lebih parah, dan sekarang jauh lebih mending dibandingkan dulu. Jadi ini yang perlu menjadi perspektif," ujar dia.
Â
Â
Pelemahan Rupiah Diprediksi Tak Lebih dari 6 Bulan
Pelemahan nilai tukar rupiah diperkirakan tidak berlangsung lama. Setidaknya, sebelum enam bulan, rupiah diprediksi sudah kembali normal.
Poltak mengatakan, pelemahan rupiah yang terjadi pada tahun ini tidak separah saat 2013. Pada saat itu, ada muncul istilah taper tantrum, yaitu efek yang ditimbulkan oleh rencana Amerika Serikat untuk menaikkan suku bunganya, meski tidak kunjung dilakukan. Namun, akibat adanya rencana tersebut, langsung memukul mata uang negara lain, termasuk rupiah.
‎"Pada tahun 2013, itu yang disebut taper tantrum. AS sengaja membikin tingkat suku bunganya rendah supaya tingkat bunganya tumbuh. Karena saat itu pasca Lehman Brother, perlu penyembuhan dengan stimulus. Saat itu The Fed cuma bilang ada rencana akan memikirkan untuk menaikkan suku bunga. Itu langsung orang shock, ada negara yang melemah mata uangnya," ujar dia.
Saat itu, rupiah melemah cukup tajam, yaitu berkisar antara 12 persen hingga 20 persen, atau dari 9.000-an menjadi 12.000 per dolar AS.
"Ini kalau dibandingkan dulu, pelemahannya 20 persen, itu jauh lebih melemah. Dari dolar Rp 9.000, kemudian naik tajam. Ini perlu kita perhatikan," kata dia.
Jika melihat besaran persentase pelemahan serta kenaikan suku bunga yang telah dilakukan oleh AS, maka harusnya pelemahan saat ini tidak akan berlangsung lama seperti yang terjadi di 2013.
"Di 2018, juga sama (akibat kenaikan suku bunga AS). Sekarang sudah naik dan masih akan dinaikkan. Volatilitas saat 2013, saat taper tantrum itu, memakan waktu 6 bulan. Sekarang kita sudah mengalami 3 bulan, seharusnya tidak akan sejauh yang dulu (2013)," kata dia.
Â
Â
Â
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Â
Advertisement