Semester II, Kemendag Prediksi Penyaluran Gula Turun

Kementerian Perdagangan masih akan berdiskusi bersama Kementerian Perdagangan soal waktu izin impor gula mentah pekan depan.

oleh Bawono Yadika diperbarui 17 Jul 2018, 19:22 WIB
Diterbitkan 17 Jul 2018, 19:22 WIB
Gula Pasir
Ilustrasi Foto Gula Pasir (iStockphoto)

Liputan6.com, Jakarta - Kementerian Perdagangan (Kemendag) masih mendiskusikan lebih lanjut terkait waktu izin importasi gula mentah (raw sugar) bagi pengusaha. Kemendag membahas hal tersebut dengan Kementerian Perindustrian (Kemenperin).

"Masih belum diputuskan. Intinya dari Kemenperin berharap itu per kuartal sedangkan kemendag masih nego untuk semester," tutur Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kemendag Oke Nurwan di Ritz Carlton, Jakarta Selatan, Selasa (17/7/2018).

Oke menuturkan, perbedaan waktu izin antar kementerian terkait importasi gula mentah disebabkan oleh beberapa faktor. Salah satu ialah serapan gula yang dipandang kurang optimal.

"Kemenperin minta jadi kuartal karena serapan mereka tidak optimal, jadi enggak bisa diberikan sekaligus. Tingkat realisasinya dari 1,8 juta ton yang kita keluarkan itu, kalau enggak salah sekarang itu hampir 1,5 juta per Juni," ujar dia.

Oleh karena itu, Oke menekankan Kemendag akan membahas izin importasi raw sugar minggu depan dengan Kemenperin.

"Sudah ada perusahaan yang ngajuin izin ini, cuma  tadi, rekomendasinya 3 bulan. Kita berharap masih bicara lagi, minggu depan akan bicara dengan Kemenperin," kata dia.

Sementara itu, kata Oke, pemerintah sudah memberlakukan izin importasi gula mentah per kuartal sejak Juli 2018 ini.

"Sudah efektif sejak Juli. Jadi kalau keluar sekarang, ya tinggal 2 bulan lagi. Industri maunya keseluruhan tapi rekomendasinya dapat sekian ya sekian yang diajukan. Sementara itu kita akan berunding dengan Kemenperin," tutur dia.

Melihat hal ini, Oke menuturkan alokasi gula pada semester II ada kemungkinan turun. Namun Oke menuturkan kuota impor gula mentah tetap 3,6 juta ton pada 2018. 

"Mungkin saja alokasi turun di semester 2. Kalau alokasi sudah diputuskan, tinggal mau dipakai berapa. Kalau kemarin cuma terpakai 1,5 juta ton, ya enggak bisa minta sisanya. Semester 2 masih sisa 1,8 juta ton, tapi apakah mau diberikan kuartal atau bagaimana, itu yang dipikirkan," ujar  dia.

 

Alasan Impor Belum Mampu Tekan Harga Gula

gula-pasir
Pekerja tengah menata gula pasir di Gudang Bulog Jakarta, Selasa (14/2). Kemendag menyatakan, penetapan harga eceran tertinggi (HET) gula kristal putih sebesar Rp12.500 per kilogram akan dilakukan pada bulan Maret 2017. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Sebelumnya, Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) menilai kebijakan terkait impor gula konsumsi harus dievaluasi. Hal ini perlu dilakukan karena tujuan dari dilakukannya impor tersebut adalah memenuhi kebutuhan gula konsumsi di dalam negeri dan juga menstabilkan harganya.

Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS), Novani Karina Saputri mengatakan, kebijakan impor gula konsumsi belum mampu menurunkan harga gula konsumsi di Tanah Air.

"Harga gula konsumsi di Indonesia justru lebih tinggi daripada harga gula konsumsi di pasar internasional," kata Novani dalam sebuah acara diskusi di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, Selasa 22 Mei 2018.

Dia mengungkapkan, data menunjukkan harga gula konsumsi domestik cenderung naik setiap bulan. Harga gula konsumsi naik 17,5 persen dari sekitar Rp 10.599,5 per kilogram pada September 2010 menjadi Rp 12.455,3 per kilogram pada Februari 2018.

"Di mana pada akhir pengamatan, yaitu Februari 2018, harga gula konsumsi dalam negeri lebih dari tiga kali lipat lebih tinggi dibandingkan dengan harga di pasar internasional," ujar dia.

Dia menjelaskan, salah satu upaya pemerintah untuk menjaga stabilitas harga dan ketersediaan gula konsumsi salah satunya adalah melalui perdagangan gula internasional atau impor.

Pemerintah membuka keran impor untuk memenuhi shortage penawaran gula konsumsi dalam negeri seperti yang dijelaskan dalam Peraturan Kementerian Perdagangan nomor 117 tahun 2015. 

"Namun upaya pemerintah ini tidak lantas membuka perdagangan impor dengan bebas, tetapi terdapat restriksi dalam beberapa hal, seperti jumlah impor dan waktu impor yang diatur oleh pemerintah melalui rapat koordinasi antar kementerian untuk menjaga kesejahteraan produsen tebu sekaligus membuat harga gula konsumsi menjadi lebih terjangkau untuk konsumen," tutur dia.

Analisis menggunakan data sebelumnya menjelaskan pemerintah tidak mampu menentukan jumlah dan waktu yang tepat untuk melakukan impor gula konsumsi.

"Hal ini terbukti dari jumlah impor yang tidak mampu meredam gejolak harga dan waktu pelaksanaan impor yang kurang maksimal yaitu ketika harga internasional tidak berada pada titik terendah," kata dia.

 

Saksikan video pilihan di bawah ini:

 

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya