Liputan6.com, Jakarta - Bank Indonesia (BI) mengakui ketertinggalan dalam segi teknologi untuk menangani perusahaan penyedia jasa keuangan berbasis teknologi (Financial Technology/Fintech). Sedangkan industri fintech tersebut terus menjamur di Indonesia.
Direktur Departemen Kebijakan Sistem Pembayaran BI, Erwin Haryono mengatakan, kehadiran fintech akan menggantikan posisi bank menjadi aplikasi.
Advertisement
Dalam hal ini Bank Indonesia sebagai regulator yang menangani industri keuangan belum memiliki teknologi yang menunjang.
Advertisement
Baca Juga
"Bank akan digantikan oleh platform dan hanya satu yang gunakan blokchain. Dari sisi teknologi, kita masih banyak ketinggalan,” kata Erwin, dalam sebuah diskusi fintech, di kawasan Kuningan, Jakarta, Selasa (7/8/2018).
Erwin mengakui, menjamurnya Fintech akan menumbuhkan transaksi keuangan digital semakin pesat. Kondisi ini membuat tugas Bank Indonesia sebagai bank sentral semakin sulit.
"Ini kurang lebih akan meningkatkan growth. Bayangkan, uang menjadi digital. Maka tugas kami akan menjadi sulit,” ucap Erwin.
Erwin mengungkapkan, perkembangan fintech akan membawa dampak sistemik pada industri keuangan dan berisiko pada sistem pembayaran. Hal tersebut telah terjadi di China.
"Kalian lihat di China, ada risiko di sistem pembayaran, ada persoalan sistemik,” tutur dia.
Erwin menuturkan, Bank Indonesia (BI) telah melakukan sejumlah langkah antisipasi perkembangan fintech di Indonesia, dengan mengeluarkan beberapa regulasi.
"Ada sejumlah peraturan yang dikeluarkan seperti PBI perlindungan konsumen, transaksi pembayaran, regulatory sandbox dan NPG, sampai dengan uang elektronik," ujar dia.
Banyak Fintech Ilegal, OJK Ingatkan Harus Ada Izin
Sebelumnya, Satuan Tugas (Satgas) Waspada Investasi Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat sebanyak 227 entitas peer to peer (P2P) landing ilegal ditemukan di Indonesia. Platformtersebut sebagian besar berasal dari China.
Wakil Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Nurhaida menegaskan, semua penyelenggara peer to peer lending wajib mendaftarkan diri dan mendapatkan izin dari OJK.
Hal ini tertuang dalam Peraturan OJK No 77/POJK 01/2016, tentang layanan pinjam meminjam uang berbasis teknologi informasi (peer-to-peer lending) untuk mendukung pertumbuhan industri fintech.
"Kalau ada misalnya fintech company yang akan beroperasi di Indonesia harus ada izin dari OJK, harus terdaftar. Dan saat ini, tingkatannya itu terdaftar kemudian setelah setahun mereka akan memperoleh disyaratkan punya izin," kata Nurhaida, saat ditemui di Hotel Dharmawangsa, Jakarta, Selasa 31 Juli 2018.
Dalam aturan tersebut juga tertulis jika perusahaan fintech harus lebih transparan antara pemberi pinjaman atau kreditor dengan nasabah yang meminjam (borrower).
"Dalam mengatur fintech regulation ini atau peer to peer secara khusus, yang diatur itu kewajiban dari platform ini mensyaratkan transparansi kedua belah pihak. Dan ini akan berlaku juga bagi seluruh fintech dan crowdfunding," sebutnya.
Sebelumnya, OJK mencatat baru 63 perusahaan fintech peer to peer lending yang sudah mendaftar dan mengantongi izin.
Ketua Satgas Waspada Investasi, Tongam L. Tobing menemukan bahwa 227 fintech peer to peer lending yang tidak memiliki izin.
"Satgas Waspada Investasi menemukan 227 entitas yang tidak memiliki izin, sehingga berpotensi merugikan masyarakat," ungkap dia.
Karena itu, dia meminta masyarakat untuk lebih waspada dan teliti sebelum memanfaatkan produk yang ditawarkan fintech peer to peer lending, karena tidak berada di bawah pengawasan OJK.
"Kami pun akan rutin menyampaikan informasi terkait perusahaan peer to peer lending yang tidak berizin. Selain itu peran serta masyarakat sangat diperlukan terutama untuk tidak menjadi peserta kegiatan entitas tak berizin tersebut," tandasnya.
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Advertisement