Liputan6.com, Jakarta Otoritas Jasa Keuangan OJK menyebutkan sebanyak 227 perusahaan pinjam meminjam uang berbasis teknologi (fintech) peer-to-peer lending) beroperasi secara ilegal. Sementara yang sudah terdaftar dan mendapatkan izin dari OJK baru 63 perusahaan.
Ketua Satuan Tugas Waspada Investigasi Tongam L Tobing mengatakan, dari total jumlah fintech ilegal tersebut, sebagian besar berada di bawah developer China.
Meski demikian, dia tidak menyebut secara detail jumlah fintech ilegal asal China. "Melihat data-data ini, rata-rata separuhnya banyak berasal dari luar negeri, dari China," ungkapnya, di kantor OJK, Jakarta, Jumat (27/7/2018).
Advertisement
Tongam mengatakan, masuknya fintech dari China ke Indonesia ditengarai seiring pengetatan kebijakan peer-to-peer lending di negara tersebut. Ini membuat para developer China berpindah ke negara-negara lain.
"Di China dulu longgar, sekarang sangat ketat. Bisa jadi berdampak ke kita. Perusahaan China yang tidak bisa di sana, lari ke sini," kata dia.
Dia menjelaskan meskipun developer fintech tersebut berasal dari China, tapi dalam pengoperasian platform peer to peer menggunakan bahasa Indonesia.
"Dalam berbagai platform, dimuat tampilannya dalam Bahasa Indonesia," tandasnya.
OJK Ultimatum Fintech Pinjaman Online Tak Berizin Hentikan Layanan
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) meminta perusahaan financial technology (fintech) yang bergerak di sektor peer to peer lending atau pinjaman individu, tak berizin untuk segera menghentikan kegiatan. Per 27 Juli 2018 (hari ini), OJK menemukan 227 peer to peer lending fintech ilegal.
"Peer to peer lending fintech yang tidak terdaftar mesti menghentikan kegiatan," ungkap Ketua Satgas Waspada Investasi, Tongam L. Tobing, di Kantor OJK, Jakarta, Jumat (27/7/2018).
"Kami juga dorong, harus terdaftar di OJK, turuti peraturan-peraturan yang ada. Pada rapat 25 juli 2018, Satgas Waspada Investasi memutuskan semua wajib terdaftar," lanjut dia.
Baca Juga
Selain menghentikan kegiatan usaha, OJK juga meminta agar fintech ilegal tersebut segera menghapus aplikasinya dan menutup website.
Dalam kegiatan ini OJK turut bekerja sama dengan Google Indonesia dan Kementerian Komunikasi dan Informasi.
"Semua bentuk aplikasi, harus dihapuskan karena tidak ada izin. Kami juga lapor Bareskrim untuk penelitian mengenai penawaran-penawaran (peer to peer lending fintech) tak terdaftar ini," kata Tongam.
Sementara masyarakat yang merasa dirugikan oleh fintech ilegal tersebut diharapkan untuk tidak segan-segan melaporkan ke aparat penegak hukum.
"Tanggung jawab ke pengguna harus diselesaikan segera. Bila ada (masyarakat) yang merasa dirugikan silahkan lapor penegak hukum," tandasnya.
Advertisement