Liputan6.com, Jakarta - Nilai tukar rupiah diperkirakan stabil di kisaran 14.700 per dolar Amerika Serikat di akhir tahun. Hal ini didorong oleh konsumsi dalam negeri yang meningkat saat dimulainya kampanye Pemilihan Presiden (Pilpres), libur Natal, dan tahun baru.
President ASEAN International Advocacy, Shanti Ramchand Shamdasani, mengatakan dengan ada peningkatan konsumsi, maka jumlah uang beredar di masyarakat dan sektor riil akan semakin banyak. Hal ini dinilai akan membuat nilai tukar rupiah lebih stabil.
"Di akhir tahun akan stabil Rp 14.700, paling tinggi Rp 15 ribu.‎ Alasannya akan ada spending, ada suntikan dana yang bantu ekonomi riil. Kampanye sudah mulai, itu jalan semua, spanduk, steker, kaus. Paling tidak, kita bisa berharap di situ uang berputar. Yang kita inginkan ini ada perputaran uang‎," ujar dia di Jakarta, Rabu (5/9/2018).
Advertisement
Baca Juga
Selain itu, pada akhir tahun, AS dan negara-negara di kawasan Eropa juga akan merayakan Natal. Hal ini dinilai akan sedikit meredam gejolak ekonomi global.
"Di AS juga akhir tahun mereka merayakan Natal, ini mungkin akan sedikit slow down. Di Indonesia, libur akhir tahun orang akan lebih banyak spending, mereka makan di mal, berbelanja. Itu akan berkontribusi," jelas dia.
Namun, ujar Shanti, hal ini sebenarnya tidak perlu menunggu hingga akhir tahun. Jika masyarakat mau menghabiskan uangnya lebih banyak untuk konsumsi, bisa membantu menstabilkan rupiah dalam waktu dekat.
"(Yang bisa dilakukan masyarakat) Belanjakan uangnya. Kalau orang menahan duit, maka uang tidak berputar. Kemudian pemerintah harus keluarkan aturan, dalam sehari tidak boleh beli dolar dalam jumlah sekian. Pembelian dolar harus jelas," tutur dia.
Â
Harga Minyak Naik dan Rupiah Bergejolak, Kenaikan Harga BBM Dinilai Wajar
Wacana menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi dinilai hal wajar di tengah kenaikan harga minyak mentah, gejolak rupiah dan tekanan eksternal yang dihadapi Indonesia saat ini.
President ASEAN International Advocacy, Shanti Ramchand Shamdasani, mengatakan, selama ini pemerintah telah memotong subsidi BBM dan mengalokasikan anggarannya untuk sektor yang lebih produktif, seperti pembangunan infrastruktur. Hal ini ini bisa saja kembali dilakukan oleh pemerintah jika sudah dianggap perlu.
"Subsidi minyak sudah diangkat (kurangi) oleh pemerintah untuk membangun, tapi pada saat negara membutuhkan. Pemerintah punya hak untuk menaikkan. Ceritanya lain kalau pemerintah memang tidak dalam kondisi yang membutuhkan kemudian dipotong," ujar dia di Jakarta, Rabu 5 September 2018.
Menurut Shanti, langkah untuk menaikkan harga BBM sudah dilakukan oleh negara lain, yaitu China. Hal tersebut sebagai antisipasi Negeri Tirai Bambu dalam menghadapi ketidakpastian global dan kenaikan hanya minyak mentah.
"Harga minyak bisa dinaikkan dan masyarakat harus mengerti. Karena di China juga dilakukan. Seluruh dunia kini menghadapi hal yang sama," kata dia.
Selain China, lanjut dia, India juga telah melakukan hal yang sama. Hal ini dilakukan pemerintahnya untuk menekan konsumsi BBM dan membuat masyarakatnya lebih bijak dalam menggunakan bahan bakar fosil ini.
"Jadi negara lain sekarang berpikir hal yang sama. Contohnya India, sekarang bensin sudah naik di sana. Kalau dulu orang naik mobil tinggal ambil kuncinya, sekarang mereka mikir-mikir dulu.‎ Jadi saya rasa wajar kalau pemerintah mau naikkan (harga BBM)," ujar dia.
Â
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Â
Advertisement