Harga Beras Merangkak Naik, Pemerintah Perlu Pertimbangkan Impor

Berdasarkan estimasi BPS, Indonesia mengalami surplus produksi beras sebear 2,85 juta ton.

oleh Arthur Gideon diperbarui 28 Okt 2018, 08:00 WIB
Diterbitkan 28 Okt 2018, 08:00 WIB
Kementerian Perdagangan Akan Revitalisasi 1.200 Pasar Tradisional Tahun Ini
Pedagang menata beras dagangannya di PD Pasar Jaya Gondangdia, Jakarta, Jumat (19/1). Kementerian Perdagangan akan merevitalisasi 1.200 pasar tradisional pada 2018. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Jakarta - Harga beras medium mulai merangkak naik. Untuk itu, pemerintah perlu mempertimbangkan opsi untuk impor mengingat beberapa daerah sentra produksi beras di Indonesia mengalami kekeringan. Kekeringan ini memengaruhi masa tanam dan pada akhirnya akan menyebabkan mundurnya musim panen.

Berdasarkan data BPS, pada bulan Juli 2018 harga beras medium berada di kisaran Rp 9.135. Angka ini naik pada Agustus 2018 menjadi Rp 9.198 dan naik lagi pada September 2018 menjadi Rp 9.310. Pergerakan harga yang menunjukkan peningkatan ini menandakan pasokan beras di pasar semakin berkurang.

Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Assyifa Szami Ilman mengatakan, pemerintah harus memperkirakan waktu impor beras yang tepat. Melihat pergerakan harga beras yang terus meningkat, impor sebaiknya dilakukan sebelum Januari 2019. Pemerintah bisa belajar dari pengalaman impor di awal tahun ini.

“Pemerintah memutuskan untuk melakukan impor di Januari 2018, sekitar sebulan sebelum panen raya yang terjadi pada Februari 2018. Nyatanya proses pengiriman beras impor ke Indonesia memakan waktu dan berasnya sampai di waktu yang berdekatan dengan panen raya. Hal ini berakibat pada anjloknya harga beras dan meruginya petani,” terang Ilman dalam keterangan tertulis, Minggu (28/10/2018).

Dirilisnya data beras terbaru oleh BPS yang didapat melalui metode yang lebih akurat diharapkan dapat menjadi pertimbangan yang kuat dalam melakukan kegiatan impor. Melalui metode Kerangka Sampling Area, BPS merevisi luas lahan pertanian padi menjadi 7,1 juta hektare, dari yang sebelumnya sebesar 7,7 juta hektare dengan metode yang digunakan Kementerian Pertanian (Kementan).

Berdasarkan estimasi BPS, Indonesia mengalami surplus produksi beras sebear 2,85 juta ton. Jumlah ini jauh dibawah estimasi Kementan yaitu sebesar 16,31 juta ton. Mengingat keputusan impor harus dilakukan kalau stok di Bulog berada di bawah 1 juta ton, maka pemerintah perlu mempertimbangkan pembukaan keran impor beras di waktu mendatang karena jumlah stok surplus dan batas keputusan impor yang lebih kecil jaraknya dibandingkan estimasi Kementan sebelumnya.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

Ini Kunci agar RI Tak Perlu Impor Beras

Harga Beras di Pasar Induk Cipinang
Seorang kuli angkut menurunkan beras dari atas truk di Pasar Induk Cipinang, Jakarta, Senin (25/9). Pedagang beras Cipinang sudah menerapkan dan menyediakan beras medium dan beras premium sesuai harga eceran tertinggi (HET). (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Sebelumnya, Ketua Umum Persatuan Pengusaha Penggilingan Padi dan Beras (Perpadi), Sutarto Alimoeso mengatakan, surplus beras sebanyak itu bisa menjaga stabilitas pasokan hingga akhir tahun.

"Kuncinya ada pada penyerapan beras petani oleh Bulog di bulan Oktober-Desember. Kalau surplus bisa terserap separuhnya, stok bisa ditahan hingga Maret ketika musim panen, dan tak perlu impor," tegas Sutarto pada Kamis 25 Oktober 2018). 

Dia mengaku penilaian ini berdasarkan pengalaman dirinya saat menjabat Direktur Jenderal Tanaman Pangan Kementerian Pertanian (Kementan) dan Direktur Utama Perum Bulog.

Selain itu, Bulog juga mengklaim stok beras di gudang Bulog saat ini mencapai 2,6 juta ton, atau di atas ambang aman.

Sebelumnya, Wakil Presiden Jusuf Kalla memastikan jika dengan stok yang ada pemerintah tidak akan menambah impor beras.

"Dasar impor itu kalau stok Bulog di bawah 1 juta ton dan harga naik sampai dengan 10 persen," kata JK beberapa waktu lalu.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Tag Terkait

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya