Liputan6.com, Jakarta Asosiasi Panas Bumi Indonesia menyatakan, Indonesia masih kekurangan pasokan listrik dari panas bumi sebesar 5 ribu Mega Watt (MW).Â
Ketua Asosiasi Panas Bumi Indonesia Prijandaru Effendi mengatakan, untuk mencapi target porsi EBT dalam bauran energi sebesar 23 persen pada 2025. di tahun ini dtargetkan pasokan listrik dari energi panas bumi mencapi 7.500 MW.
"Untuk bisa mencapai 23 persen EBT, panas bumi harus jadi 7.200 MW," kata Prijandaru, dalam pembukaan The 7 th Indonesia International Geothermal ,Convention and Exebition 2019, di Jakarta Convention Center (JCC), Selasa (13/8/2019).
Advertisement
Baca Juga
Dia melanjutkan, saat ini pasokan listrik dari panas bumi baru mencaapi 1.945 MW. Sedangkan tahun ini pasokan listrik dari panas bumi ditargetkan mencapai 2.533 MW, bertambah 185 MW dari pengoperasian beberaap Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP).
"Tahun ini ada tambahan 185 MW yang akan dihasilkan dari Muara Labouh, Lumut Balai, Sorik Merapi, dan Sokoria," tuturnya.
Menurut Prijandaru, untuk mengejar target porsi EBT dalam bauran energi masih dibutuhkan tambahan pasokan listrik dari tenaga panas bumi sebesar 5.000 MW.
Prijandaru mengungkapkan, panas bumi akan menjadi tulang punggung pengembangan EBT di Indonesia. Hal ini merupakan tema dalam The 7 th Indonesia International Geothermal ,Convention and Exebition 2019
"Making geothermal the energy of today, dipilihnya tema ini menegaskan komitmen bersama untuk transisi energi nasional beralih ke EBT dimana panas bumi jadi tulang punggung," tandasnya.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Pemerintah Masih Kaji Penerapan Tarif Listrik Tak Tetap di 2020
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyatakan bahwa penerapan tarif listrik penyesuaian (adjustment tarif) untuk golongan pelanggan nonsubsidi masih menunggu kondisi beberapa parameter. Salah satu patokan yang digunakan adalah pergerakan harga minyak Indonesia atau Indonesian Crude Price (ICP).
Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian ESDM Rida Mulyana mengatakan, pemerintah belum memutuskan wacana penerapan kembali tarif listrik penyesuaian pada 2020. Pasalnya,‎ pemerintah saat ini masih melihat kondisi tiga parameter pembentukan tarif yaitu ICP, nilai tukar rupiah dan inflasi.
"Itu kan tergantung kurs. ICP dan segala macam," kata Rida, di Jakarta, Selasa (13/8/2019).
Rida melanjutkan, yang sudah pasti tetap dilakukan pemerintah adalah tarif listrik untuk semua golongan pelanggan sampai akhir tahun ini tidak akan berubah.
"K‎an lagian juga tiga bulanan. Untuk sampai September kan dipastikan masih tetap. Setelah September, sementara ini kan kalau kemarin masih tetap juga sampai 2019," tutur Rida.
Rida pun berharap, tiga parameter ‎pembentukan tarif listrik tidak mengalami kenaikan signifikan, sehingga pemerintah bisa menepati janjinya yaitu tidak ada kenaikan tarif listrik sampai akhir 2019.
"‎Kita kan sampi akhir tahun tetap kan. Tapi kan kita nggak tahu dunia ini seperti apa geraknya yang pasti kalau ICP kurs enggak banyak berubah, ya apa yang kita janjikan untuk tetap itu kan most likely akan terjadi tapi siapa yang tau kan," tandasnya.
Advertisement
Pengamat: Tarif Listrik Seharusnya Turun
Tarif Tenaga Listrik (TTL) dinilai seharusnya mengalami penurunan. Hal tersebut didorong oleh penguatan rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS), penurunan harga minyak Indonesia ( Indonesian Crude Price/ICP) dan kestabilan inflasi pada beberapa waktu belakangan ini.
Pengamat Ekonomi dari Universitas Gajah Mada Fahmi Radhi mengatakan, ada tiga variabel yang dijadikan acuan untuk menetapkan tarif listrik yaitu Indonesian Crude Price (ICP), inflasi, dan kurs rupiah terhadap dolar AS, serta harga energi primer.
"Penyesuaian tarif listrik otomatis itu berdasarkan variabel penentu tersebut, bisa menyebabkan tarif listrik naik, tetapi bisa pula tarif listrik turun dibanding tarif listrik sebelumnya, tergantung dari besaran variabel penentu tersebut," kata Fahmi, di Jakarta, Senin (8/7/2019).Â
Menurut Fahmi, jika mencermati Biaya Pokok Produksi (BPP) listrik pada saat ini, semua acuan penentu itu menurunkan besaran BPPÂ listrik. Di antaranya, kurs tengah rupiah terhadap dolar AS selama Juli 2019 cenderung menguat mencapai rata-rata Rp 14.148 per satu dolar AS lebih kuat ketimbang asumsi Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) 2019 dan RKAP PLN yang ditetapkan sebesar Rp 15 ribu per dolar AS.
ICP juga cenderung turun pada kisaran USD 61 per barel, lebih rendah dibandingkan dengan harga asumsi ICP di APBN yang ditetapkan sebesar USD 70 per barel. Sedangkan inflasi Juli diprediksikan juga rendah, diramalkan hanya 0,12 persen per bulan atau sekitar 3,12 persen secara rahun ke tahun sepanjang 2019.
"Selain ketiga indikator itu, biaya energi primer yang menentukan Harga Pokok Produksi (HPP) listrik cenderung tetap, bahkan beberapa beberapa harga energi primer mengalami penurunan," tambahnya.