Liputan6.com, Yogyakarta - Rincian angka kematian Ibu (AKI) sebesar 189 per 10.000 kelahiran hidup, dan angka kematian bayi (AKB) sebesar 17 per 1000 kelahiran hidup menjadi catatan tingginya angka kematian ibu dan bayi di Indonesia. Guru Besar Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan Universitas Gadjah Mada R. Detty Siti Nurdiati Z mengatakan tingkat penyebab tingginya kematian ibu dan anak dari pendarahan, hipertensi dalam kehamilan, dan infeksi kini bergeser dengan komplikasi non obstetri yang menduduki peringkat pertama diikuti dengan hipertensi dan perdarahan.
“Komplikasi non obstetri merupakan suatu kumpulan penyakit yang berkaitan dengan gangguan metabolisme, termasuk di dalamnya penyakit jantung, obesitas, dan diabetes mellitus,” kata Detty dalam pidato pengukuhan Guru Besar dirinya yang berlangsung di ruang balai Senat UGM, Kamis (10/4/2025).
Baca Juga
Detty mengatakan perubahan pola ini perlu ditelusuri lebih lanjut, demi kualitas kesehatan ibu dan bayi. Menurutnya penting soal identifikasi faktor risiko sejak masa prakonsepsi, kehamilan, persalinan, sampai dengan pasca persalinan demi penanganan yang komprehensif.
Advertisement
Sehingga agar meminimalkan kematian ibu dan bayi perlu strategi yang harus berdasarkan atas praduga every pregnancy is at risk, artinya setiap kehamilan berisiko dan tidak ada yang bebas risiko. “Upaya yang dilakukan bukan hanya penanganan pada saat kelahiran, namun juga untuk kehamilan-kehamilan selanjutnya,” ujarnya.
Ia mengatakan dari hasil penelitiannya dengan pendekatan epidemiologi untuk melakukan analisis yang sistematik dan berbasis data mengenai pola, penyebab serta dampak masalah kesehatan di masyarakat menemukan fakta. Umumnya di lapangan terjadi keterlambatan diagnosis menjadi penyebabnya, sementara skrining dan deteksi dini kelainan pada janin seawal mungkin sangat bermanfaat.
Dari sini sang Ibu akan lebih sadar dalam pengambilan keputusan untuk melanjutkan kehamilan atau melakukan terminasi kehamilan akan lebih tepat, aman, efektif dan efisien. “Semakin muda umur kehamilan, semakin rendah risiko terjadinya komplikasi akibat tindakan terminasi tersebut baik dari segi fisik, fungsi reproduksi maupun dampak psikologis ibu,” katanya.
Ia pun menjelaskan dua contoh kasus yang menekankan betapa pentingnya disiplin ilmu kedokteran fetomaternal (KFm), dalam merawat ibu baik sebelum dan selama kehamilan, saat persalinan serta pasca persalinan secara berkesinambungan dan komprehensif. Lebih lanjut, subspesialis KFm akan menangani bu hamil risiko tinggi akibat komplikasi obstetri dan medis, skrining dan diagnostik prenatal, manajemen kelainan atau komplikasi janin, tindakan invasif dan non-invasif pada janin, fetal therapy, manajemen persalinan risiko tinggi, masalah genetik dalam kehamilan, serta dampaknya terhadap ibu dan janin.
Melalui fetomaternal pula, evidence synthesis, atau suatu penelitian sekunder, yang menyatukan semua penelitian primer yang mempunyai pertanyaan penelitian yang sama dan relevan dapat dilakukan. Penelitian ini akan sangat bermanfaat untuk adanya kesenjangan pengetahuan atau adanya perbedaan pendapat antar ahli, dan untuk mencari bukti ilmiah terbaik dan terkini yang menjadi dasar pengambilan keputusan klinis atau pembuatan kebijakan nantinya.
Lebih lanjut Detty mengatakan dengan penguatan faskes primer seperti puskesmas memegang peranan penting dalam melakukan identifikasi ibu dengan kehamilan risiko tinggi, karena dapat memberikan layanan antenatal dan pertolongan persalinan tanpa komplikasi, serta rujukan ibu risiko tinggi ke rumah sakit. Hal ini dilakukan beriringan dengan adanya transisi pelayanan kesehatan kesehatan yang semula berbasis community medicine menjadi personal medicine.
Berbeda dengan community medicine yang menyeragamkan metode pendekatannya terhadap program peningkatan kesehatan ibu, dalam pelayanan berbasis personal medicine, seorang ibu akan diperlukan secara unik sesuai dengan kondisinya, baik dari segi genetik, lingkungan, gaya hidup maupun faktor risiko lain.
Menurut Detty tujuan peningkatan kualitas pelayanan kesehatan ini tidak hanya untuk menurunkan angka kematian ibu dan bayi saja, melainkan untuk meningkatkan kualitas hidup ibu dan bayinya. Oleh karena itu, diperlukan adanya sistem kesehatan yang kuat dan sumber daya yang memadai termasuk penggunaan artificial intelligence.
Menurutnya, peran seorang dokter subspesialis fetomaternal tidak akan berarti tanpa didukung oleh sistem kesehatan yang kuat, kolaborasi interprofesi kesehatan dan non-kesehatan, serta kesadaran semua pihak mengenai pentingnya pelayanan kesehatan yang komprehensif. “Upaya ini diharapkan dapat meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan ibu dan bayi untuk masa depan Indonesia yang cemerlang,” harapnya.