Liputan6.com, Jakarta - Era industri 4.0 tidak hanya menciptakan ancaman disruptif, tapi juga menciptakan peluang positif bagi perekonomian. Pemerintah perlu mengeluarkan kebijakan untuk mendorong kreativitas pelaku ekonomi agar menghasilkan produk yang dapat bersaing serta memberikan dampak positif pada lingkungan dan kesehatan publik.
Berdasarkan Global Innovation Index 2019, indeks inovasi Indonesia berada di peringkat 85 dari 129 negara. Peringkat Indonesia berada jauh di bawah negara Asia Tenggara lainnya, seperti Malaysia (peringkat 35) dan Filipina (peringkat 54).
Advertisement
Baca Juga
Dengan kebijakan insentif atau disinsentif fiskal yang tepat, pemerintah dapat meningkatkan indeks inovasi Indonesia dan juga mendorong investasi yang baik untuk perekonomian negara.
Direktur Program Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Esther Sri Astuti mengatakan, pemerintah sudah memulainya dengan memberikan kebijakan insentif fiskal bagi kendaraan bermotor listrik.
“Kami apresiasi pemerintah sudah mengeluarkan kebijakan yang tepat. Hal ini dapat mendorong pelaku ekonomi khususnya industri kendaraan bermotor, untuk menghasilkan produk-produk yang inovatif dan dapat bersaing di era industri 4.0,” kata dia ketika dihubungi wartawan.
Proses pembuatan kebijakan insentif fiskal kendaraan bermotor listrik telah berlangsung sejak 2017 lalu. Perjalanan pembuatan beleid ini pun sempat timbul-tenggelam.
Namun, pada akhirnya, pemerintah mengeluarkan kebijakan insentif fiskal berupa pengurangan pada Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (PPnBM) dan insentif nonfiskal lainnya pada 5 Agustus lalu. Insentif tersebut dikeluarkan melalui Peraturan Presiden (Perpres) Percepatan Program Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Negara yang Beri Insentif Fiskal
Esther menyarankan, pemerintah selanjutnya juga dapat membuat kebijakan insentif atau disinsentif fiskal untuk industri lain demi mendorong munculnya produk inovatif yang juga berdampak positif bagi lingkungan dan kesehatan, seperti energi terbarukan, produk tembakau yang dipanaskan tanpa Tar, dan lainnya.
Dia mencontohkan Jepang, Korea Selatan, Filipina, Selandia Baru, dan Inggris sudah menerapkan insentif cukai untuk produk tembakau yang dipanaskan tanpa Tar. Produk tersebut dinilai memiliki risiko lebih rendah dibandingkan rokok karena tidak melalui proses pembakaran.
“Di sana, tarif cukai untuk produk tembakau yang dipanaskan lebih rendah daripada rokok. Melihat perkembangan tersebut, sudah saatnya Indonesia menerapkan kebijakan insentif fiskal untuk mendorong produk-produk inovasi dengan konsep pengurangan dampak negatif,” tegas Esther.
Sejumlah negara-negara lain di dunia juga sudah memberikan insentif fiskal bagi produk yang mengurangi emisi gas rumah kaca, dan produk lainnya yang berdampak positif pada lingkungan. Hal ini dibahas pada agenda United National Climate Change Conference (UNFCCC) pada Desember 2018 lalu.
“Mereka sepakat untuk mendorong industri yang lebih hijau dalam mengoperasionalisasikan usahanya demi suksesnya pembangunan nasional yang berkelanjutan. Industri semacam ini yang berdampak positif bagi lingkungan dan kesehatan publik sangat layak memperoleh insentif fiskal, apalagi jika investasi dan biaya operasionalnya akan lebih besar ketika industri konvensional beralih ke industri yang baru," jelas Esther.
Esther juga menyatakan, pemerintah tidak perlu ragu untuk memberikan insentif fiskal bagi produk yang ramah lingkungan dan kesehatan.
“Kebijakan ini akan mendorong masyarakat pindah ke produk alternatif yang lebih baik dari sisi lingkungan maupun kesehatan,” tutup dia.
Advertisement
Pengusaha Lebih Butuh Insentif Pajak Ketimbang Tax Amnesty
Ketua Komite Perpajakan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Siddhi Widyapratama meminta pemerintah untuk tidak menjalankan program pengampunan pajak (tax amnesty) jilid II. Sebab, bagi dia ada yang lebih penting dari itu, yakni pemberian insentif kemudahan dalam membayar pajak.
"Ini menurut saya lebih penting karena pemikiran sederhana, negara kita tidak dapat dibangun oleh sedikit pengusaha. Harus sama-sama membangun," kata dia dalam diskusi yang digelar di Jakarta, Rabu (14/8).
Shiddi menjelaskan yang diperlukan saat ini adalah bagaimana pemerintah memberikan kelonggaran pajak bagi para pengusaha. Seperti misalnya, penurunan tarif PPh Badan hingga kemudahan adminitrasi yang bisa diberikan oleh pemerintah dalam mengurus pajam.
"Negara bisa berkembang jadi negara maju perlu banyak faktor. Tidak serta merta (tax amnesty) pajak," imbuh dia.
Di tempat yang sama, Direktur Riset Center of Reform on Economics (Core) Indonesia, Piter Abdullah menambahkan, di tengah kondisi perlambatan ekonomi global, fokus pemerintah dalam mendorong pertumbuhan ekonomi yang bisa dilakukan adalah melakukan pelonggaran pajak kepada para pengusaha. Bukan justru memberikan tax amnesty.
"Itu yang sudah dijanjikan pemerintah misalnya memberikan tax allowance, tax holiday, penurunan PPh Badan. ini ujungnya bisa memacu investasi konsumsi sehingga ekonomi lebih baik. dengan pertumbuhan ekonomi lebih tinggi, penerimaan pajak bisa lebih besar," jelas Piter.
Reporter: Dwi Aditya Putra
Sumber: Merdeka.com