Liputan6.com, Jakarta Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, negara kehilangan pendapatan Rp 212 triliun pada 2018 akibat pemberian berbagai insentif perpajakan atau tax expenditure bagi dunia usaha. Adapun pemberian insentif tersebut dilakukan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi.
"Tax expenditure Rp 221 triliun atau 1,5 persen dari GDP. Artinya potensi penerimaan Rp 221 triliun yang tidak kita ambil atau collect di dalam angka fasilitas ke masyarakat dan dunia usaha. Angka ini lebih tinggi dari 2017 yang capai Rp 196 triliun," ujar Sri Mulyani di Gedung DPR, Jakarta, Rabu (21/8/2019).
Advertisement
Baca Juga
Tax expenditure merupakan penerimaan perpajakan yang hilang atau berkurang akibat adanya ketentuan khusus yang berbeda dari sistem pemajakan secara umum yang menyasar sebagian subjek dan objek pajak dengan persyaratan tertentu.
Beberapa waktu belakangan, pemerintah diketahui telah menebar berbagai insentif perpajakan seperti tax holiday, tax allowance, mini tax holiday dan super deduction tax. Insentif tersebut ditujukan kepada investor atau pengusaha dengan persyaratan besaran investasi.
"Kita juga berikan fasilitas seperti tax holiday dan allowance maupun insentif pajak dalam bentuk super deduction untuk bidang yang dianggap fundamental, seperti litbang untuk tingkatkan daya saing," jelas Sri Mulyani.
Â
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Demi Ciptakan SDM Unggul
Mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia tersebut menambahkan, pemberian insentif tersebut dilakukan oleh pemerintah salah satunya untuk menciptakan Sumber Daya Manusia (SDM) yang lebih unggul dan bersaya saing melalui pendidikan vokasi.
"Bidang training dari sisi vokasi untuk meningkatkan kemampuan SDM. Hal ini yang akan dilakukan dalam rangka formulasikan kebijakan penerimaan negara yang tidak hanya fokus pada penerimaan juga respons ke kebutuhan," tandasnya.
Reporter: Anggun P. Situmorang
Sumber: Merdeka.com
Advertisement
Sri Mulyani Waspadai Gejolak Ekonomi Global Berlanjut ke 2020
Menteri Keuangan Sri Mulyani mewaspadai ketidakpastian ekonomi global yang berpeluang masih berlanjut pada 2020.
Ada beberapa hal yang harus diwaspadai, salah satunya adalah hubungan perang dagang Amerika Serikat dan China yang belum menunjukkan keharmonisan.
Sejak awal perang dagang kedua negara ini, ekonomi global turut terpengaruh. Pertumbuhan ekonomi di berbagai dunia melambat dua negara digdaya itu belum juga damai.
"Tensi (AS dan China) masih meningkat, dalam ini ini sulit diprediksi karena di satu sisi kenaikan tarif dilakukan, kemudian ada penundaan tapi masih ada berbagai indikator dan persyaratan yang belum disetujui kedua pihak. Ini adalah ketidakpastian yang harus tetap waspadai dan perhitungkan di 2020," ujarnya di Kantor DPR, Jakarta, Selasa (20/8/2019).
Selain perang dagang China dan Amerika, Indonesia juga masih melihat kebijakan moneter bank sentral Amerika Serikat (AS) walaupun sudah menurunkan suku bunga acuannya beberapa waktu terakhir.
"Respons policy seperti Federal yang menaikkan suku bunga (2018), sekarang turunkan. Kita belum tahu apakah mereka akan lakukan lagi atau itu keputusan sendiri pada saat penurunan kemarin. Ini akan sangat menentukan momentum dari pelemahan ekonomi dunia berlanjut atau membalik di 2020 ini," jelas Sri Mulyani.