Solusi Jitu Tekan Defisit BPJS Kesehatan Tanpa Naikkan Iuran

Dampak lain yang harus diantisipasi oleh pemerintah dengan menaikkan besaran iuran BPJS Kesehatan yaitu tunggakan yang membengkak.

oleh Septian Deny diperbarui 30 Agu 2019, 10:00 WIB
Diterbitkan 30 Agu 2019, 10:00 WIB
Iuran BPJS Kesehatan Naik
Petugas BPJS Kesehatan melayani warga di kawasan Matraman, Jakarta, Rabu (28/8/2019). Sedangkan, peserta kelas mandiri III dinaikkan dari iuran awal sebesar Rp 25.500 menjadi Rp 42.000 per bulan. Hal itu dilakukan agar BPJS Kesehatan tidak mengalami defisit hingga 2021. (merdeka.com/Iqbal S Nugroho)

Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah akan menaikkan iuran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan sebesar 100 persen. Kenaikan ini sebagai upaya untuk menekan defisit yang dialami oleh BPJS Kesehatan.

Pengamat Asuransi Irvan Rahardjo mengatakan, dirinya mendukung upaya pemerintah menekan defisit BPJS Kesehatan dengan menaikkan iuran. Namun demikian, ada juga dampak lain yang harus diantisipasi oleh pemerintah dengan menaikkan besaran iuran ini.

"Intinya bagus, mengurangi defisit. Tapi juga bisa jadi ancaman baru tunggakan membengkak terutama dengan kelesuan ekonomi saat ini," ujar dia saat berbincang dengan Liputan6.com, Jumat (30/8/2019)

Menurut Irvan, selain menaikkan besaran iuran, sebenarnya masih ada solusi lain yang bisa diambil oleh pemerintah untuk menekan defisit BPJS Kesehatan. Salah satunya dengan menerapkan kebijakan biaya urunan (cost sharing) khusus untuk penyakit katastropik yaitu jantung, gagal ginjal, dan kanker.

Pasalnya, lanjut Irvan, selama ini jenis penyakit ini yang banyak menyedot pembiayaan dari BPJS Kesehatan. Terlebih penderitanya merupakan peserta mandiri.

"Solusi lain cost sharing (urun biaya) khusus untuk penyakit katastropik dan diderita oleh PBPU (Peserta Bukan Penerima Upah) atau yg biasa disebut Peserta Mandiri. Cost sharing diterapkan di negara lain antara lain AS dan Jerman. Cost sharing diterapkan karena jenis penyakit katastropik itu jantung, stroke cuci darah dan lain-lain, ada 9 penyakit, menjadi penyumbang klaim terbesar BPJS dan berasal dari peserta mandiri," jelas dia.

Solusi lain yang bisa diambil yaitu dengan menarik lebih banyak anggaran dari hasil cukai rokok untuk menekan defisit BPJS Kesehatan. Namun demikian, solusin ini juga akan menimbulkan dampak lain yaitu akan menjadi kampanye positif bagi konsumsi rokok.

"Cukai juga menjadi solusi tapi belum diterapkan saat ini. Cukai solusi baik, tapi menjadi kampanye positip merokok karena menjadi penyumbang BPJS," tandas dia.

 

 

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

DPR Tolak Kenaikan Iuran BPJS Kesehatan 100 Persen

Ilustrasi BPJS Kesehatan
Ilustrasi BPJS Kesehatan

Komisi IX DPR Ichsan Firdaus, meminta pemerintah mengkaji dengan hati-hati rencana kenaikan iuran BPJS Kesehatan sebesar 100 persen. Sebab, kenaikan yang drastis akan menimbulkan gejolak baru di masyarakat.

"Ini perlu dipikirkan lebih lanjut. Setiap kenaikan apapun, yang mengalami kenaikan yang cukup drastis harus dimitigasi oleh pemerintah. Saya tidak sepakat kalau kenaikannya hampir 100 persen," ujarnya di Gedung DPR, Jakarta, Selasa (27/8).

Pemerintah bersama BPJS Kesehatan masih memiliki pilihan lain untuk mengumpulkan penerimaan. Pertama, BPJS harus mampu mendorong sisi kepatuhan pembayaran iuran agar semakin meningkat dari posisi saat ini sekitar 54 persen.

"Jadi ini yang perlu dimitigasi setiap kebijakan apapun yang cukup drastis harus dimitigasi oleh pemerintah dampaknya. Saya tidak sepakat kalau kenaikannya hampir 100 persen. Masih ada solusi lain, misalnya tingkat kolektivitas iuran BPJS yang selama ini masih 54 persen," jelasnya.

Dia juga meminta BPJS Kesehatan memaksimalkan pungutan dari perusahaan yang selama ini masih melakukan kecurangan dalam melaporkan jumlah dan gaji karyawan. Jika ini dapat dimaksimalkan maka, defisit BPJS dapat terbantu.

"Misalnya saja jangan hanya BPJS, tapi juga perusahaan. Misalkan dia memberikan data yang tidak benar, harus ada tindak lanju. Juga seperti pembuatan SIM itu, harus lunas dulu BPJS nya. Ini contoh," jelasnya.

Meski demikian, dia menyerahkan keputusan sepenuhnya kepada pemerintah. Sebab, DPR tak memiliki wewenang dalam mengatur kenaikan iuran BPJS Kesehatan.

"Kenaikannya cukup drastis akan menimbulkan dampak baru secara sosial dan ekonomi juga. Ini harus dipikirkan oleh pemerintah. Walau itu domain pemerintah, tetapi kami DPR mengingatkan saja jangan sampai kebijakan itu memunculkan gejolak baru," tandasnya.

Sri Mulyani Usul Iuran BPJS Kesehatan Naik 100 Persen di 2020

Menteri Terkait Sampaikan RKP Nota Keuangan dan RAPBN 2020
Menteri Keuangan Sri Mulyani saat menyampaikan Rencana Kerja Pemerintah dan Nota Keuangan serta RAPBN 2020 di Auditorium Cakti Buddhi Bhakti KPDJP, Jakarta, Jumat (16/8/2019). Sejumlah menteri terkait ikut hadir dalam penyampaian tersebut. (Liputan6.com/Helmi Fithriansyah)

Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengusulkan iuran Badan Penyelenggara Jaminan Kesehatan (BPJS) Kesehatan naik serentak pada 2020. Tidak tanggung-tanggung kenaikan nantinya mencapai 100 persen dari angka saat ini.

Adapun rincian usulan Kementerian Keuangan adalah kelas III dari Rp 25.500 menjadi Rp 42.000, kelas II dari Rp 51.000 menjadi Rp 110.000, lalu kelas I dari Rp 80.000 menjadi Rp 160.000.

"Kami mengusulkan kelas III Rp 42.000, Rp 110.000 untuk kelas II dan Rp 160.000 untuk kelas I. Dan ini kita mulainya 1 Januari 2020," ujar Sri Mulyani di Gedung DPR, Jakarta, Selasa (27/8).

Usulan Sri Mulyani tersebut berbeda dengan usulan Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN). DJSN mengusulkan peserta kelas I naik menjadi Rp 120.000, kelas II dari Rp 51.000 menjadi Rp 80.000. Sedangkan untuk kelas III dari Rp 25.500 menjadi Rp 42.000.

"Kami mengusulkan kenaikan yang sudah kami sampaikan kepada Presiden. Untuk angka besarannya sudah ada di Presiden. Kelas I naik dari sebelumnya Rp 25.500 menjadi Rp 42.000," ujar Ketua DJSN Tubagus Achmad Choesni.

Adapun kenaikan iuran tersebut, dilakukan agar BPJS Kesehatan dapat melakukan kinerja dengan optimal, mengingat setahun terakhir BPJS Kesehatan mengalami defisit hingga Rp 29 triliun.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya