Aturan Diubah, Google Cs Bakal Wajib Bayar Pajak

Menteri Keuangan Sri Mulyani tengah merevisi RUU Perpajakan.

oleh Liputan6.com diperbarui 04 Sep 2019, 11:15 WIB
Diterbitkan 04 Sep 2019, 11:15 WIB
Sri Mulyani
Sri Mulyani saat dapat kejutan di ulang tahun yang ke-57. (dok. Instagram @smindrawati/https://www.instagram.com/p/B1oKsOGpuZ1/Putu Elmira)

Liputan6.com, Jakarta Menteri Keuangan Sri Mulyani menjelaskan pemerintah akan menyiapkan rancangan undang-undang (RUU) tentang perpajakan.

Salah satunya dengan adanya aturan tersebut pemerintah akan menerapkan tarif pajak untuk perusahaan digital internasional seperti Google, Amazon, Netflix, dan sebagainya bisa dikenai pajak.

Sri Mulyani mengatakan perusahaan tersebut sebelumnya tidak bisa dijadikan subyek pajak luar negeri dan menyetorkan ke pemerintah.

"Kami tetapkan bahwa mereka perusahaan digital internasional, Google, Amazon, Netflix mereka bisa memungut, menyetor, dan melaporkan PPN," kata Sri Mulyani di Kantor Presiden, Jakarta Pusat, Selasa (3/9/2019).

Sri Mulyani juga menjelaskan untuk merespon perkembangan ekonomi digital, pemerintah bakal mengubah definisi badan usaha tetap (BUT) dalam RUU ini. Menurut dia, definisi BUT tidak akan lagi didasarkan pada kehadiran fisik berupa kantor cabang di Indonesia.

Dia juga menjelaskan tujuan penyusunan RUU Perpajakan yaitu untuk meningkatkan iklim kompetitif di Indonesia di tengah perekonomian global yang lesu. Apalagi kata dia, Jokowi selalu mewanti-wanti terkait tantangan perekonomian nasional yakni kinerja ekspor dan investasi yang sempat melambat.

"Presiden meminta supaya kita lakukan kebijakan yang permudah investasi dan ekspor. Semua hal yang halangi harus dihilangkan. Filosofinya, buat ekonomi Indonesia menjadi kompetitif," ungkap Sri Mulyani.

Reporter: Intan Umbari Prihatin 

Sumber: Merdeka.com

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

Google Pungut Pajak Iklan, Penerimaan Negara Tambah Rp 600 Miliar

Google
Kantor pusat Google di Mountain View. Liputan6.com/Jeko Iqbal Reza

Mulai 1 Oktober 2019 PT Google Indonesia (GI) menerapkan kebijakan baru, yaitu akan menarik Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 10 persen bagi pengguna layanan iklan di Google Ads.

Ekonom Insitute For Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira menilai, keputusan GI menarik PPN 10 persen memang berkontribusi pada penerimaan pajak negara yakni sekitar Rp600 miliar per tahun.

Tetapi, dampaknya ke ekonomi Indonesia menurutnya tidak begitu signifikan. Karena memang sudah sewajarnya PPN dibayarkan senilai 10 persen.

"Nilai pasar iklan digital Google di indonesia mencapai 300 juta usd, jika tiap tahun asumsinya terjadi kenaikan 10 persen, di estimasi tahun 2019 pendapatan dari iklan mungkin mencapai 439 juta usd atau setara Rp6,2 triliun per tahunnya. Jika ditarik ppn 10 persen penerimaan negara dari pajak Google sekitar Rp600 miliar per tahun. Itu penerimaan yang cukup besar," tuturnya kepada Liputan6.com, Minggu (1/9/2019).

"Tetapi dampaknya tidak terlalu besar ke ekonomi Indonesia karena memang sewajarnya ppn 10 persen dibayar oleh transaksi online maupun offline. Ini kan menyamakan level of playing field dengan advertising yang offline," lanjut dia.

Tambah Penerimaan Negara

Kantor Baru Google di Berlin
Seorang teknisi melewati logo mesin pencari internet, Google, pada hari pembukaan kantor baru di Berlin, Selasa (22/1). Google kembali membuka kantor cabang yang baru di ibu kota Jerman tersebut. (Photo by Tobias SCHWARZ / AFP)

Kendati demikian, Bhima menjelaskan, kebijakan GI memang menjadi peluang Pemerintah untuk menargetkan penerimaan pajak dari perusahaan-perusahaan besar di dunia atau over-the-top (OTT).

"Implikasinya shortfall penerimaan pajak bisa ditekan. Meskipun porsi ppn google ads belum 1 persen dari total target penerimaan pajak yg mencapai Rp1.786 triliun tahun ini. Tapi ini membuka peluang bagi pemerintah untuk menargetkan penerimaan pajak dari perusahaan OTT lainnya. Ibarat membuka kotak pandora, potensi pajak perusahaan digital masih bisa di optimalkan," terangnya.

Sementara itu, Direktur Penyuluhan, Pelayanan dan Hubungan Masyarakat DJP Hestu Yoga Saksama mengatakan, pihaknya belum menargetkan secara khusus penerimaan negara dari kebijakan GI.

Kata dia, Pemerintah masih mengkaji sekaligus menilai seberapa optimal pemungutan PPN 10 persen terhadap potensi untuk penerimaan negara.

"Kami belum hitung potensi (penerimaan negara). Biarkan berjalan secara self-assessment saja," tegasnya.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya