Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah memutuskan untuk menaikkan tarif cukai rokok sebesar 23 persen dan harga jual eceran naik 35 persen mulai awal 2020. Kebijakan ini sudah disampaikan kepada Presiden Joko Widodo atau Jokowi.
Direktur Riset Center of Reform on Economics (Core) Indonesia, Piter Abdullah, mengatakan bahwa kebijakan tersebut bukan semata-mata ditujukan untuk mencari alternatif dalam menambah sumber penerimaan negara. Namun tujuan utamanya adalah mengendalikan tingkat konsumsi di masyarakat.
"Kenaikan cukai rokok tujuan utamanya pengendalian agar konsumsi rokok tidak terlalu tinggi. Dengan demikian menaikkan cukai rokok harus dibaca adalah untuk mengurangi konsumsi rokok di masyarakat yang demikian tinggi," kata Piter saat dihubungi merdeka.com, Minggu (15/9/2019).
Advertisement
Baca Juga
Piter mengatakan meskipun kemudian kenaikan cukai rokok ini meningkatkan penerimaan negara itu adalah keuntungan lainnya. Bukan sebagai tujuan utama dari pemerintah.
"Ingat. Tujuannya adalah untuk mengurangi konsumsi rokok," tandasnya.
Sebelumnya, Direktur Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan (Kemenkeu), Heru Pambudi mengakui bahwa kenaikan cukai rokok sebesar 23 persen di 2020 akan berdampak pada penerimaan negara.
Menurutnya, potensi penerimaan negara yang akan diperoleh dari kebijakan kenaikan cukai rokok mencapai Rp173 triliun. Tetapi, pihaknya menegaskan pemerintah tidak menargetkan secara khusus terkait penerimaan tersebut.
"Revenue (nanti) mengikuti. Jadi kita tidak membuat kebijakan ini berdasarkan target revenue tapi berdasarkan pada konsumsi yang harus secara gradual diturunkan tapi industri masih bisa kita perhatikan," tuturnya di Jakarta, Sabtu 14 September 2019.
Reporter: Dwi Aditya Putra
Sumber: Merdeka.com
Kenaikan Cukai 23 Persen Beratkan Industri Rokok
Perkumpulan Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI) menilai, keputusan Pemerintah menaikan cukai rokok rata-rata 23 persen dan harga jual eceran (HJE) 35 persen memberatkan Industri Hasil Tembakau (IHT).
Ketua Umum Perkumpulan GAPPRI, Henry Najoan menyatakan keputusan yang dilakukan Pemerintah ini juga tidak pernah dikomunikasikan dengan kalangan industri terkaitan cukai rokok.
BACA JUGA
"Selama ini, informasi yang kami terima rencana kenaikan cukai dikisaran 10 persen, angka yang moderat bagi kami meski berat," kata Henry di Jakarta, Sabtu (14/9/2019).
Perlu diketahui, bila cukai naik rokok 23 persen dan HJE naik 35 persen di 2020 maka industri harus setor cukai dikisaran Rp 185 triliun, mengingat target cukai tahun ini Rp 157 triliun, belum termasuk Pajak Rokok 10 persen dan Ppn 9,1 persen dari HJE.
"Dengan demikian setoran kami ke pemerintah bisa mencapai Rp 200 triliun. Belum pernah terjadi kenaikan cukai dan HJE yang sebesar ini. Benar-benar di luar nalar kami!," tegasnya.
Henry menyatakan, masalah lain yang dihadapi industri adalah peredaran rokok ilegal. Saat cukai naik 10 persen saja peredaran rokok ilegal demikian marak, dengan kenaikan cukai 23 persen dan kenaikan HJE 35 persen dapat dipastikan peredaran rokok ilegal akan semakin marak.
Advertisement
Pasar sedang Lesu
Pelaku IHT juga menghadapi situasi pasar yang masih lesu. Kenaikan cukai mencapai 23 persen dan kenaikan HJE 35 persen tentu akan berakibat makin turunnya produksi IHT.
"Dan akan berakibat kepada menurunnya penyerapan tembakau dan cengkeh, serta dampak kepada tenaga kerja," ujarnya.
Belum lagi rencana simplifikasi atau penggabungan layer yang akan dilakukan pemerintah. Simplifikasi cukai merupakan ancaman bagi industri
Maraknya rokok elektrik juga ancaman bagi IHT. Rokok elektrik saat ini mulai tumbuh dengan perlakuan peraturan yang berbeda dengan rokok konvensional.
"Kelihatannya memang Pemerintah tidak peduli pada industri hasil tembakau ,tidak memperhatikan nasib tenaga kerja dan petani tembakau dan cengkeh. Kami tidak bisa membayangkan kesulitan yang akan kami hadapi ke depan," tukasnya.