Liputan6.com, Jakarta - Direktur Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Heru Pambudi mengatakan, Pemerintah telah mempertimbangkan ancaman pemutusan hubungan kerja (PHK) dari ketetapan kenaikan cukai rokok 2020.
Oleh sebab itu, pihaknya di sisi lain akan menerapkan tarif teringan pada sigaret kretek tangan (SKT). Jenis SKT ialah rokok yang proses pembuatannya dengan cara digiling atau dilinting dengan menggunakan tangan dan atau alat bantu sederhana.
Advertisement
Baca Juga
Sedangkan sigaret sendiri ialah rokok yang bahan pembungkusnya berupa kertas.
"Tapi pasti dengan average 23 persen itu sigaret kretek pada prinsipnya akan diberikan tarif yang teringan. Sigaret kretek tangan ya," ujarnya di Jakarta, Sabtu (14/9/2019).
"Jadi kalau ditanya tarif cukai naik nggak takut ada PHK? Itulah kenapa kita memberi perlakuan yang lebih ringan terhadap SKT," lanjut dia.
Pihaknya pun menerangkan, Pemerintah telah mempertimbangkan sejumlah aspek atas kenaikan cukai rokok itu, termasuk didalamnya karena pada tahun ini belum dikenaikan kenaikan.
"Sebenarnya itu tadi, bahwa harus dipahami bahwa kenaikan ini hitung-hitunganya adalah dua tahun karena tahun 2019 itu tidak naik," tegasnya
Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:
Kenaikan Cukai 23 Persen Beratkan Industri Rokok
Perkumpulan Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI) menilai, keputusan Pemerintah menaikan cukai rokok rata-rata 23 persen dan harga jual eceran (HJE) 35 persen memberatkan Industri Hasil Tembakau (IHT).
Ketua Umum Perkumpulan GAPPRI, Henry Najoan menyatakan keputusan yang dilakukan Pemerintah ini juga tidak pernah dikomunikasikan dengan kalangan industri terkaitan cukai rokok.
"Selama ini, informasi yang kami terima rencana kenaikan cukai dikisaran 10 persen, angka yang moderat bagi kami meski berat," kata Henry di Jakarta, Sabtu (14/9/2019).
Perlu diketahui, bila cukai naik rokok 23 persen dan HJE naik 35 persen di 2020 maka industri harus setor cukai dikisaran Rp 185 triliun, mengingat target cukai tahun ini Rp 157 triliun, belum termasuk Pajak Rokok 10 persen dan Ppn 9,1 persen dari HJE.
"Dengan demikian setoran kami ke pemerintah bisa mencapai Rp 200 triliun. Belum pernah terjadi kenaikan cukai dan HJE yang sebesar ini. Benar-benar di luar nalar kami!," tegasnya.
Henry menyatakan, masalah lain yang dihadapi industri adalah peredaran rokok ilegal. Saat cukai naik 10 persen saja peredaran rokok ilegal demikian marak, dengan kenaikan cukai 23 persen dan kenaikan HJE 35 persen dapat dipastikan peredaran rokok ilegal akan semakin marak.
Advertisement
Pasar Sedang Lesu
Pelaku IHT juga menghadapi situasi pasar yang masih lesu. Kenaikan cukai mencapai 23 persen dan kenaikan HJE 35 persen tentu akan berakibat makin turunnya produksi IHT.
"Dan akan berakibat kepada menurunnya penyerapan tembakau dan cengkeh, serta dampak kepada tenaga kerja," ujarnya.
Belum lagi rencana simplifikasi atau penggabungan layer yang akan dilakukan pemerintah. Simplifikasi cukai merupakan ancaman bagi industri
Maraknya rokok elektrik juga ancaman bagi IHT. Rokok elektrik saat ini mulai tumbuh dengan perlakuan peraturan yang berbeda dengan rokok konvensional.
"Kelihatannya memang Pemerintah tidak peduli pada industri hasil tembakau ,tidak memperhatikan nasib tenaga kerja dan petani tembakau dan cengkeh. Kami tidak bisa membayangkan kesulitan yang akan kami hadapi ke depan," tukasnya.