Liputan6.com, Jakarta - Asian Development Bank (ADB) memprediksi perang dagang antara China dengan Amerika Serikat (AS) masih berlanjut hingga 2020. Kondisi tersebut akan membuat ekonomi beberapa negara di dunia dalam kondisi sulit.
Kepala Ekonom ADB Yasuyuki Sawada mengatakan, negara-negara di Asia harus mampu mengantisipasi hal tersebut sejak dini. Hal ini disampaikan dalam Asian Development Outlook 2019 update, Jakarta, Rabu (25/9).
"Konflik perdagangan antara China dan AS sangat mungkin akan berlanjut hingga 2020, sedangkan sejumlah perekonomian utama di dunia diperkirakan akan mengalami kesulitan Iebih besar daripada yang diantisipasi saat ini," ujarnya.
Advertisement
Khusus Asia, melemahnya momentum perdagangan dan menurunnya investasi menjadi perhatian utama. Tahun ini dan tahun depan, pertumbuhan ekonomi negara-negara Asia yang sedang berkembang diperkirakan akan tumbuh 6 persen.
"Para pembuat kebijakan perlu memantau isu-isu ini dengan seksama," jelas Yasuyuki.
Secara rinci, ADB memprediksi perekonomian China akan tumbuh 6,2 persen tahun ini, dan 6 persen tahun depan. Asia Tenggara secara keseluruhan diperkirakan akan tumbuh 4,5 persen pada 2019 dan 4,7 persen pada 2020, sedangkan Asia Timur akan berekspansi hingga 5,5 persen di 2019 dan 5,4 persen pada tahun depan.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Antisipasi BI Hadapi Memanasnya Perang Dagang AS-China
Bank Indonesia (BI) terus memperkuat strategi operasi moneter untuk mendukung upaya menjaga kecukupan likuiditas dan meningkatkan efisiensi pasar uang. Ini demi memperkuat transmisi bauran kebijakan yang akomodatif.
Gubernur BI Perry Warjiyo mengatakan, pelonggaran kebijakan BI dilakukan melihat risiko ketegangan hubungan dagang AS-China yang berlanjut. Panasnya perang dagang telah membawa ketidakpastian pasar keuangan global yang tetap tinggi.
"Selain itu kenaikan tarif dagang oleh AS dan Tiongkok yang terus berlangsung makin menurunkan volume perdagangan dan pertumbuhan ekonomi dunia. Perekonomian AS tumbuh melambat akibat penurunan ekspor dan investasi nonresidensial," ujar dia di Jakarta, Kamis (19/9/2019).
Sebab itu, dia mengatakan, BI akan melanjutkan untuk menempuh bauran kebijakan akomodatif. Caranya dengan memangkas suku bunga, perlonggar makroprudensial, sistem pembayaran, dan operasi moneter.
Advertisement
Turunkan DP KPR
Selain memangkas suku bunga acuan, BI juga menurunkan uang muka (down payment/DP) melalui skema loan to value (LTV) pada kredit properti seperti KPR hingga kendaraan bermotor.
Relaksasi ini dilakukan untuk menjaga stabilitas eksternal sekaligus upaya menopang pertumbuhan ekonomi.
"Perekonomian dunia yang melambat mendorong komoditas global kembali menurun. Kondisi ini direspons banyak negara yang melakukan stimulus fiskal dan melonggarkan kebijakan moneter," ujarnya.
Dia menegaskan jika BI sejak awal tahun memang sudah mengarahkan kebijakan untuk mendorong momentum pertumbuhan ekonomi. "Langkah ini kita perkuat sebagai antisipasi terhadap perang dagang AS-Tiongkok," kata dia.