Pemerintah Larang Peredaran Minyak Goreng Curah, Ini Alasannya

Pemerintah melarang peredaran minyak goreng curah eceran beredar di pasaran mulai 1 Januari 2020.

oleh Liputan6.com diperbarui 07 Okt 2019, 13:00 WIB
Diterbitkan 07 Okt 2019, 13:00 WIB
Refleksi Akhir Masa Jabatan Anggota MPR, DPR, dan DPD
Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto memberikan paparan dalam acara Dialog Refleksi Akhir Masa Jabatan Anggota MPR, DPR, dan DPD RI di Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa (10/9/2019). Dialog membahas capaian kinerja DPR, MPR, dan DPD periode 2014-2019. (Liputan6.com/JohanTallo)

Liputan6.com, Jakarta - Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto, membeberkan alasan pemerintah melarang peredaran minyak goreng curah eceran beredar di pasaran mulai 1 Januari 2020. Salah satunya adalah menjaga agar minyak goreng tetap higienis.

"Ya kalau pemain curah itu kan di packed sederhana 1 liter, 1,5 liter, 1/4 liter. Supaya konsumennya higienis, jangan sampai pakai curah, itu tidak sehat malah," ujar Airlangga di Kantor Kementerian Koordinator bidang Perekonomian, Jakarta, Senin (7/10).

Airlangga melanjutkan, pemerintah tetap memperbolehkan pabrik menjual minyak goreng ke pabrik untuk alasan pengemasan. Namun untuk diteruskan kepada konsumen harus melalui pengemasan.

 

"Kalau minyak curah itu yang dilarang itu yang ke pasaran. Kalau antara pabrik dengan pabrik packaging boleh. Jadi memang dalam bentuk pabrik tapi pabrik tidak boleh menjual ke consumer direct. Jadi kalau ke consumer harus masuk di dalam kemasan," jelasnya.

Airlangga mengakui nantinya akan ada kenaikan harga minyak goreng seiring dengan pengenaan kemasan. Meski demikian, kenaikannya tidak akan signiofikan. "Harga packaging cost saja," jelasnya.

Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita mengatakan, pihaknya akan melarang peredaran minyak goreng curah eceran beredar di pasaran mulai 1 Januari 2020. Mengingat, larangan ini sudah direncanakan sejak tahun 2015.

"Kita sepakati per tanggal 1 Januari 2020, seluruh produsen wajib menjual atau memproduksi minyak goreng dalam kemasan dengan harga yang sudah ditetapkan oleh pemerintah dan tak lagi mensuplai minyak goreng curah," kata Enggar di Sarinah, Jakarta, Minggu (6/10).

Dia menjelaskan, minyak goreng eceran tak memiliki jaminan kesehatan sama sekali sehingga membahayakan kesehatan masyarakat. Meski demikian, dia tidak menjelaskan lebih rinci mengenai sanksi untuk pihak yang masih melanggar.

"Menurut kami dari sisi kesehatan itu berbahaya dari masyarakat, bekas, bahkan ngambil dari selokan, dan sebagainya," imbuhnya.

Reporter: Anggun P. Situmorang

Sumber: Merdeka.com

 

* Dapatkan pulsa gratis senilai Rp 5 juta dengan download aplikasi terbaru Liputan6.com di tautan ini.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

Pengusaha Tolak Kewajiban Penambahan Vitamin A pada Minyak Goreng

Liputan 6 default 5
Ilustraasi foto Liputan 6

Produsen minyak goreng sawit menolak kewajiban fortifikasi (penambahan) vitamin A dalam produk minyak goreng. Pasalnya, fortifikasi dinilai akan berimbas pada pemborosan bagi devisa negara dan menimbulkan risiko hukum bagi perusahaan, jika tidak memenuhi batas kandungan vitamin A di dalam produknya.

Saat ini, Kementerian Perindustrian (Kemenperin) tengah menyusun revisi Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 87 Tahun 2013 tentang pemberlakuan SNI 7709: 2012 Minyak Goreng Sawit dan terkait penambahan fortifikasi Vitamin A.

Direktur Eksekutif Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI) Sahat Sinaga mengatakan, kebijakan penambahan vitamin A sintetis haruslah diimpor dari perusahaan di negara lain.

“Jika fortifikasi menjadi wajib, akibatnya Indonesia bergantung kepada impor Vitamin A sintetik. Setiap tahun, kita akan buang devisa ratusan juta dolar AS ke luar negeri,” ujar dia dalam keterangan tertulis di Jakarta, Jumat (20/7/2018).

Persoalan lain, lanjut dia, adalah efektifitas fortifikasi vitamin A di Minyak Goreng Sawit. Karena ada rentang waktu pengiriman minyak goreng dari pabrik sampai ke masyarakat. Isu ini terkait dengan stabilitas Vitamin A mulai dari pabrik sampai ke retailer dan retensi vitamin A pada saat penggorengan.

“Tidak ada jaminan berapa kadar kandungan vitamin A sampai di tangan konsumen. Apabila di bawah ambang batas, produsen bisa dituntut,” ungkap dia.

Kalangan produsen sawit, kata Sahat, meminta pengecualian untuk kebijakan fortifikasi vitamin A. Aturan fortifikasi sebaiknya sukarela bukan mandatori. “Kita belum tahu seberapa efektif fortifikasi. Yang pasti penambahan vitamin A membuat devisa negara tersedot ke luar negeri,” tutur dia.‎

Menyikapi persoalan fortifikasi vitamin A minyak goreng sawit, Palm Oil Agribusiness Strategic Policy Institute (PASPI) telah mengirimkan surat kepada Ditjen Industri Agro Kementerian Perindustrian pada 13 Juli 2018.

Ciptakan Monopoli

VIDEO: Pemerintah Bandung Larang Peredaran Minyak Goreng Curah
Peraturan Menteri Perdagangan tentang minyak goreng wajib dalam kemasan SNI mulai diberlakukan hari ini di Kota dan Kabupaten Bandung.

Direktur Eksekutif PASPI Tungkot Sipayung menyebutkan, aturan fortifikasi tidak berdasarkan kepada perintah perundang-undangan, melainkan sebatas permintaan Menteri Kesehatan melalui surat kepada Kemenperin pada 2012.

"Penambahan vitamin A sintetik berpeluang menciptakan monopoli. Karena pemasok vitamin A ini terbatas kepada dua negara saja," kata dia.

Menurut Tungkot, tidak menutup kemungkinan produsen vitamin A bisa mengendalikan industri minyak goreng sawit di dalam negeri. Itu sebabnya, fortifikasi berpotensi melanggar UU Nomor 5/1999 mengenai Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.

Tungkot menambahkan, fortifikasi merupakan bagian dari SNI minyak goreng sawit. Pihaknya mendukung SNI minyak goreng sawit yang masih dalam proses penyusunan Peraturan Menteri Perindustrian yang baru.

"Tetapi untuk fortifikasi sebaiknya sukarela," tandas dia.‎ 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya