Liputan6.com, Jakarta - Ketua Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia (KPBI) Ilham Syah menilai saat ini pemerintah Indonesia secara jelas menerapkan sistem politik upah buruh.
Politik upah buruh memungkinkan pengusaha menekan upah pekerja sekecil-kecilnya untuk menarik investor asing agar mau berinvestasi di Indonesia.
"Saya katakan, Indonesia ini terang-terangan pakai politik upah buruh. Artinya, upah pekerja ditekan sekecil-kecilnya supaya investor asing pada masuk ke Indonesia," tuturnya kepada Liputan6.com, Minggu (20/10/2019).
Advertisement
Ilham menambahkan, logika pemerintah Indonesia hanya berfokus pada penekanan upah buruh untuk mendatangkan investasi, padahal ada banyak faktor lain yang harus diperhatikan, seperti kondisi ekonomi (yang stabil atau tidak), ketersediaan lahan dan lainnya.
Â
Advertisement
Baca Juga
"Terus, kalau banyak yang investasi pun, pejabatnya korupsi, lha, sama saja. Birokrasi dibuat bertele-tele. Selalu saja buruh yang jadi kambing hitam," ungkapnya.
Baru baru ini, pemerintah mengumumkan kenaikan upah minimum provinsi (UMP) sebesar 8,51 persen.
Hal tersebut tertuang dalam Surat Edaran (SE) Menteri Ketenagakerjaan Nomor B-m/308/HI.01.00/X/2019 tanggal 15 Oktober 2019 tentang Penyampaian Data Tingkat Inflasi Nasional dan Pertumbuhan Produk Domestik Bruto Tahun 2019.
Namun, hal tersebut ditolak oleh para buruh karena perhitungannya berdasarkan data inflasi dan kondisi ekonomi nasional, bukan berdasarkan survei kebutuhan hidup layak (KHL).
"Kan, kebutuhan hidup di tiap daerah berbeda. Masa mengandalkan data nasional? Jadi kami secara tegas menolak (kenaikan UMP)," tutup Ilham.
Â
* Dapatkan pulsa gratis senilai jutaan rupiah dengan download aplikasi terbaru Liputan6.com mulai 11-31 Oktober 2019 di tautan ini untuk Android dan di sini untuk iOS
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Buruh Desak Presiden Segera Revisi PP Penetapan UMP
Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) meminta pemerintah untuk segera merevisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan yang menjadi acuan kenaikan Upah Minimum Provinsi (UMP) dan Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) sebesar 8,51 persen.
Presiden KSPI Said Iqbal menyatakan, PP 78/2015 tersebut selama ini memang telah ditolak buruh Indonesia, khususnya terkait dengan pasal mengenai formula kenaikan upah minimum.Â
"Dengan demikian, dasar perhitungan UMP harus didahului dengan survei kebutuhan hidup layak di pasar," kata Iqbal di Jakarta, Jumat (18/10/2019).
Sebelumnya, pemerintah melalui Surat Edaran Menteri Ketenagakerjaan Hanif Dhakiri kepada Gubernur seluruh Indonesia Nomor B-M/308/HI.01.00/X/2019 telah menetapkan kenaikan UMP dan UMK sebesar 8,51 persen akan mulai berlaku pada 1 Januari 2020.
Sebagai tindak lanjut, dia berencana kembali menemui Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk meminta agar segera membentuk Tim Revisi PP Nomor 78 Tahun 2015 sesuai janji yang disampaikan saat May Day 2019 dan pertemuan dengan KSPSI dan KSPI pada 1 Oktober 2019.
Terlebih lagi, ia melanjutkan, dalam UU Ketenagakerjaan diatur, dasar hukum kenaikan UMP/UMK adalah menghitung Kebutuhan Hidup Layak (KHL) dari survey pasar.
Setelah hasil survey didapat, besarnya kenaikan upah minimum dinegosiasikan dalam Dewan Pengupahan Daerah dengan memperhatikan faktor-faktor yang lain.
"Kami menilai surat edaran (kenaikan UMP 8,51 persen yang dikeluarkan Menteri Ketenagakerjaan) telah melanggar UU Ketenagakerjaan. Apalagi sudah ada keputusan Mahkamah Agung yang memenangkan buruh yang menyatakan menolak keputusan Gubernur Jawa Barat yang membuat keputusan terkait nilai upah minimum padat karya yang nilainya dibawah upah minimum yang berlaku," tuturnya.
Advertisement
Buruh Tuntut UMP 2020 Naik hingga 15 Persen
Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) menolak kenaikan upah minimum provinsi (UMP) sebesar 8,51 persen sebagaimana yang disebutkan dalam Surat Edaran Menteri Ketenagakerjaan. Sebab kenaikan ini mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan (PP 78/2015) yang selama ini ditolak oleh buruh Indonesia.
Menurut Presiden KSPI Said Iqbal, yang seharusnya dilakukan pemerintah adalah segera merevisi PP 78/2015, khususnya terkait dengan pasal mengenai formula kenaikan upah minimum.
"Dengan demikian, dasar perhitungan UMP harus didahului dengan survei kebutuhan hidup layak di pasar," kata Iqbal dalam keterangan tertulis di Jakarta, Jumat (18/10/2019).
Lebih lanjut dia menjelaskan, bahwa KHL yang digunakan dalam survei pasar adalah KHL yang baru, yang sudah ditingkatkan kualitas dan kuantitasnya. Adapun KHL yang baru tersebut berjumlah 78 item dari yang sebelumnya 60 item.
Menurut informasi, KHL baru sudah disepakati Dewan Pengupahan Nasional berjumlah 78 item. Namun demikian, KSPI menghitung KHL baru adalah 84 item.
Menurut Said Iqbal, jika perhitungan kenaikan upah minimum dihitung berdasarkan KHL yang baru tersebut, maka kenaikan upah minimum 2020 berkisar 10 persen-15 persen.
"Oleh karena itu, buruh menolak kenaikan upah minimum sebesar 8, 51 persen," tegasnya.
Terlebih lagi, di dalam UU Ketenagakerjaan diatur, dasar hukum kenaikan UMP/UMK adalah menghitung KHL dari survei pasar. Setelah hasil survey didapat, besarnya kenaikan upah minimun dinegosiasi dalam Dewan Pengupahan Daerah dengan memperhatikan faktor-faktor yang lain.