Tak Sesuai KHL, Buruh Tolak Kenaikan UMP 2020

Buruh minta perhitungan kenaikan UMP sesuai dengan hasil survei Kebutuhan Hidup Layak (KHL).

oleh Athika Rahma diperbarui 17 Okt 2019, 12:59 WIB
Diterbitkan 17 Okt 2019, 12:59 WIB
20160929-Demo-Buruh-Jakarta-FF
Ribuan buruh dari berbagai elemen melakukan longmarch menuju depan Istana Negara, Jakarta, Kamis (29/9). Dalam aksinya mereka menolak Tax Amnesty serta menaikan upah minumum provinsi (UMP) sebesar Rp650 ribu per bulan. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Liputan6.com, Jakarta - Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal menolak kenaikan Upah Minimum Provinsi (UMP) 2020 sebesar 8,51 persen.

Perhitungan atau formulasi kenaikan UMP ini dinilai tidak berdasarkan survei Kebutuhan Hidup Layak (KHL) seperti yang diharapkan oleh serikat buruh.

"Revisi PP no 78 tahun 2015, khususnya pasal tentang formula kenaikan upah minimum sebagai dasar perhitungan UMP harus didahului survei KHL di pasar," ungkapnya kepada Liputan6.com di Jakarta, Kamis (17/10/2019).

Menurut dia, KHL yang dipakai dalam menentukan kenaikan UMP juga harus disesuaikan dengan kenaikan kebutuhan hidup buruh saat ini. Jumlah KHL tersebut harus naik menjadi 78 item.

Jika pemerintah masih menggunakan formula dalam PP 78/2015 tentang Pengupahan untuk menentukan kenaikan upah minimum, maka buruh menolak kenaikan UMP 2020 yang sebesar 8,51 persen. 

"KHL yang di pakai adalah KHL yang baru yaitu yang rencananya KHL baru berjumlah 78 item dari yang sebelumnya 60 item. Jadi buruh menolak kenaikan upah minimum sebesar 8 persen," tandas dia.

Sebelumnya, pemerintah melalui Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) menetapkan kenaikan Upah Minimum Provinsi (UMP) dan Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) 2020 sebesar 8,51 persen.

Hal tersebut tertuang dalam Surat Edaran (SE) Menteri Ketenagakerjaan Nomor B-m/308/HI.01.00/X/2019 tanggal 15 Oktober 2019 tentang Penyampaian Data Tingkat Inflasi Nasional dan Pertumbuhan Produk Domestik Bruto Tahun 2019.

 

* Dapatkan pulsa gratis senilai Rp10 juta dengan download aplikasi terbaru Liputan6.com mulai 11-31 Oktober 2019 di tautan ini untuk Android dan di sini untuk iOS

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:


Tak Sejahterakan Buruh

Ilustrasi Upah Buruh
Ilustrasi Upah Buruh (Liputan6.com/Johan Fatzry)

Ketua Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia (KPBI) Ilham Syah menilai penetapan kenaikan Upah Minimum Provinsi (UMP) tahun 2020 tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat terutama buruh.

Menurutnya, penetapan UMP harusnya dilakukan berdasarkan Undang-Undang (UU), tepatnya UU nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Namun, kenaikan UMP 2020 justru dirumuskan dengan formula lain.

"Penetapan UMP itu dilakukan berdasarkan UU nomor 13 tahun 2003 dan dilakukan oleh Dewan Pengupahan di tingkat daerah yang terdiri dari beberapa elemen, seperti serikat pekerja, pengusaha, akademisi dan pemerintah. Harus berdasarkan survei kebutuhan rakyat per daerah ya, bukannya survei nasional," ujarnya saat dihubungi Liputan6.com, Kamis (17/10/2019).

Menurutnya, menggunakan data inflasi dan pertumbuhan nasional sebagai dasar penetapan kenaikan UMP 2020 tidak tepat, karena setiap daerah punya kebutuhan masing-masing. Penetapan UMP 2020 didasari oleh Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan tidak akan mensejahterakan.

"Sebagian besar, bahkan hampir semua buruh, menolak PP 78 ini. Jadi, menurut saya, meskipun naik tidak akan mensejahterakan," tuturnya.

Ilham melanjutkan, kenaikan upah tersebut tidak seberapa dengan kenaikan harga bahan pokok dan biaya kewajiban lainnya yang semakin mahal.

"BPJS itu, coba, naik 100 persen. Yang awalnya hanya bayar Rp 50 ribu, jadi bayar Rp 100 ribu. Belum harga bahan pokok naik, harga listrik, BBM, jadi kenaikan upah ini hanya untuk menutupi kebutuhan yang semakin mahal saja," tambahnya.


UMP 2020 Naik 8,51 Persen

Kementerian Tenaga Kerja (Kemenaker) menyatakan UMP di Tanah Air rata-rata naik 8,25 persen pada 2017.
Kementerian Tenaga Kerja (Kemenaker) menyatakan UMP di Tanah Air rata-rata naik 8,25 persen pada 2017.

Pemerintah melalui Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) menetapkan kenaikan Upah Minimum Provinsi (UMP) dan Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) 2020 sebesar 8,51 persen.

Hal tersebut tertuang dalam Surat Edaran (SE) Menteri Ketenagakerjaan Nomor B-m/308/HI.01.00/X/2019 tanggal 15 Oktober 2019 tentang Penyampaian Data Tingkat Inflasi Nasional dan Pertumbuhan Produk Domestik Bruto Tahun 2019.

Dikutip dari Surat Edaran tersebut, kenaikan UMP ini berdasarkan pada data inflasi nasional dan pertumbuhan ekonomi nasional.

"Data inflasi nasional dan pertumbuhan ekonomi (pertumbuhan produk domestik bruto) yang akan digunakan untuk menghitung upah minimum tahun 2020 bersumber dari Badan Pusar Statistik Republik IndonesIa (BPS RI)," bunyi SE tersebut seperti yang diterima Liputan6.com di Jakarta, Kamis (17/10/2019).

Berdasarkan Surat Kepala BPS RI Nomor B-246/BPS/1000/10/2019 Tanggal 2 Oktober 2019. lnflasi nasional dan pertumbuhan ekonomi nasional sebagai berikut:

a. Inflasi Nasional sebesar 3,39 persen‎

b. Pertumbuhan Ekonomi Nasional (Pertumbuhan PDB) sebesar 5,12 persen‎

"Dengan demikian, kenalkan UMP dan/atau UMK Tahun 2020 berdasarkan data Inflasi Nasional dan Pertumbuhan Ekonomi Nasional yaitu 8,51 persen," demikian tertulis dalam SE tersebut.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya