Liputan6.com, Jakarta Pemerintah dinilai tak tepat menaikkan iuran BPJS Kesehatan di tengah kondisi masyarakat yang tengah menghadapi pandemi Corona Covid-19. Selama ini, BPJS Kesehatan memang tercatat mengalami defisit, dan kenaikan iuran disebut jadi salah satu solusi menambalnya.
Staf Khusus Menteri Keuangan Yustinus Prastowo angkat bicara perihal ini. Melalui akun twitter resminya @prastow, seperti dikutip Minggu (17/5/2020), dia menjelaskan asal muasal BPJS Kesehatan mengalami defisit hingga keputusan pemerintah menaikkan iuran.Â
Dia menuturkan saat ini  per 30 April 2020, total peserta BPJS Kesehatan mencapai 222,9 juta orang. Penerima Bantuan Iuran (PBI) 96,5 juta, Bukan Penerima Bantuan Iuran 90 juta, Penduduk didaftarkan Pemda 36 juta.Â
Advertisement
Dari angka ini, iuran PBI 96,5 jt orang dibayar Pemerintah. Kemudian BPBI 90 juta, terdiri dari penyelenggara negara 17,7 juta, BUMN 1,5 juta, Swasta 35,6 juta. Dan PBPU/BU sekitar 35 juta orang. 'Dua kelompok terakhir ini yang bayar," tulis dia.
jika defisit berasal dari konsumen pekerja informal dan bukan pekerja. Secara hitungan kasar, akumulasi defisit BPJS Kesehatan 2019 disebut sebesar Rp 15,6 triliun.Â
Dia pun kemudian membagikan tabel berisi kinerja BPJS Kesehatan dari tahun ke tahun. Gambaran itu menunjukkan BPJS Kesehatan yang selalu defisit.
"Lha, gimana kok BPJS tekor? itu penjelasan tabel. PBI (orang miskin & tak mampu) surplus Rp11,1 T. ASN/TNI/Polri surplus Rp1,3T, pekerja formal swasta surplus Rp 12,1T. Nah, pekerja informal, defisit Rp20,9T, dan bukan pekerja defisit Rp6,5T. Ingat bagian ini, penting!," tulis dia.
Peserta PBPU/BUÂ disebutkan berjumlah sekitar 35 juta orang, dengan segmentasi terbesar di Kelas III sebanyak 21,6 juta. "Total iuran mereka Rp12,4T, Klaim Rp39,8T! Alias defisit Rp27,4T," ungkapnya.
Dia mengakui jika pemerintah tak boleh tak serta merta menaikkan iuran. BPJS Kesehatan harus efisien, memperbaiki manajemen dan layanan hingga mampu memberantas mafia obat. Perbaikan manajemen dan sistem dinilai satu hal, nafas buatan biar tetap hidup hal lain. Namun dia mengingatkan jika keduanya musti dikerjakan barengan. Dan ini konteks yang perlu dipahami masyarakat.
"Itu jg menjadi alasan rasional kenapa Perpres 75/2019 terbit. Demi menjaga kesinambungan pelayanan kesehatan. Tapi MA punya pertimbangan lain dan kita hormati. Betul amar putusan MA membatalkan Pasal 34 ttg kenaikan iuran, tp kita lupa baca pertimbangan MA. Justru ini penting," kata dia.
Seperti diketahui, Mahkamah Agung (MA) membatalkan kenaikan iuran BPJS Kesehatan, Maret 2020. Lembaga peradilan tertinggi itu mengabulkan gugatan pembatalan kenaikan iuran BPJS kesehatan yang diajukan Ketua Umum Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia (KPCDI) Tony Richard Samosir.
Dalam sidang putusan MA, hakim menilai bahwa kenaikan iuran tersebut bertentangan dengan banyak pasal. Salah satunya Pasal 34 ayat 1 dan 2 Perpres Nomor 75 yang bertentangan dengan ketentuan perundang-undangan yang lebih tinggi yakni Pasal 23, Pasal 28 H Jo, Pasal 34 Undang-Undang Dasar Republik Indonesia.
Justinus mengatakan keputusan MA sangat bijak. Dalam pertimbangannya, MA memberi pertimbangan yuridis, sosiologis, dan filosofis. Intinya perlu perbaikan holistik, hulu ke hilir, mencakup sistem, manajemen, pelayanan. Langkah MA ini yang membuat reformasi JKN bisa berlangsung cepat. Pemerintah pun sigap berbenah.
Itulah alasan pemerintah tak buru-buru merevisi Perpres 82/2018, tapi memilih melakukan perbaikan dulu. Mulai dari segmentasi peserta, penyesuaian besaran iuran, integrasikan penduduk yang didaftarkan Pemda, pengaktifan peserta menunggak, perbaikan tata kelola sistem layanan JKN.
"Nah, Perpres 64/2020 terbit dengan pertimbangan matang. Disusun cukup lama. Kok nggak nunggu pandemi berakhir? Lha justru ini ingin memperbaiki ekosistem agar pelayanan selama pandemi pun lebih baik. Ini konsep dan arahnya," dia menandaskan.
Â
Â
Â
Pengusaha Sebut Iuran BPJS Kesehatan Naik di Kondisi yang Tidak Pas
Kenaikan iuran BPJS Kesehatan yang tertuang dalam Perpres 64/2020 mendapat berbagai respon dari bebagai pihak, tak terkecuali pelaku dunia usaha.
Ketua Umum DPD impunan Pengusaha Pribumi Indonesia (HIPPI) Provinsi DKI Jakarta Sarman Simanjorang menilai keputusan tersebut kurang tepat untuk diambil dalam situasai pandemi seperti saat ini.
"Menurut hemat kami, dalam kondisi seperti ini, kurang pas ya waktunya untuk menaikkan iuran BPJS," ujarnya kepada Liputan6.com, Minggu (17/5/2020).
Menurut Sarman, beban pengusaha saat ini masih berat, kalaupun Perpres 64/2020 berlaku pada Juli nanti, tidak ada jaminan bahwa pada bulan tersebt dunia usaha sudah dalam kondisi stabil.
Baca Juga
"Nah kalau tidak pada kondisi stabil ini kan sangat memberatkan." kata dia.
Sebelum keluarnya Perpres 64/2020, Sarman mengaku telah menyampaikan kepada pemerintah untuk membererikan dispensasi untuk beberapa iuran atau kewajiban pengusaha.
"Termasuk BPJS yang ketenagakerjaan dan BPJS kesehatan itu beberpa bulan ke depan itu diberikna dispensasai, tidak membayar karena sangat beban pengusaha saat ini untuk memikirkan gaji bulanan karyawan, dan biaya operasional lainnya.
"Mikirin gaji, mikirin THR, dan segala macam biaya operasional, di satu sisi pemasukan sangat berkurang," kata Sarman.
Advertisement