Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah telah menarik utang sebesar Rp 223,8 triliun hingga akhir April 2020. Angka tersebut meningkat drastis apabila dibandingkan dengan posisi yang sama tahun lalu yang tercatat Rp 145,6 triliun.
"Pembiayaan utang itu sudah terealisasi Rp 223,8 triliun dan kalau terhadap pembiayaan utang di perpres 54 itu sekitar 22,2 persen," ujar Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara di Jakarta, Rabu (20/5/2020).
Penarikan utang tahun ini dalam Perpres 54 tahun 2020 ditargetkan sebesar Rp 1.006,4 triliun. Adapun pembengkakan utang tersebut disebabkan oleh belanja penanganan penyebaran Virus Corona.
Advertisement
"Sekarang lebih besar selain karena defisit juga lebih besar, kita juga ingin memastikan ketersediaan anggaran untuk belanja belanja yang pasti kita tahu akan membesar ke depan untuk penanganan Covid, belanja bansos dan belanja untuk dunia usaha," jelasnya.
Dia menambahkan, penarikan utang yang dilakukan oleh pemerintah adaah upaya untuk berjaga-jaga agar anggaran tetap aman saat dibutuhkan belanja untuk berbagai sektor.
"Jadi ini adalah bagian dari kita berjaga jaga. Sementara pinjaman ini netonya masih negatif Rp7,8 triliun namun ke depan kita akan optimalkan supaya pinjaman juga menjadi bagian pembiayaan anggaran yang juga membantu," tandasnya.
Reporter: Anggun P. Situmorang
Sumber: Merdeka.com
BPK Buka-bukaan Soal Kondisi Utang Pemerintah
Sebelumnya, Wakil Ketua BPK, Agus Joko Pramono buka bukaan mengenai pengelolaan utang pemerintah yang terus membengkak dari tahun ke tahun. Menurutnya, penarikan utang sebenarnya harus dilakukan dengan mempertimbangkan metodologi keseimbangan antara penerimaan dan belanja.
"Terkait dengan pembaginya, income, itu sebetulnya metodologi saja. Kalau kita punya utang, yang penting itu adalah kemampuan membayar dan itu tidak diukur sekarang, tetapi diukur fiscal sustainability-nya," ujarnya dalam Video Conference, Jakarta, Senin (11/5/2020).
"Jadi itu perdefinisi adalah kita meng-asses kemampuan, solvabilitas, kemampuan jangka panjang agar kita tidak terhambat dan membuat utang tersebut menjadi ancaman di dalam melakukan belanja di masa mendatang," tambahnya.
Dalam temuan BPK, kata Agus, beberapa hal yang menjadi sorotan adalah penerimaan dari sisi tax ratio. Di mana, tax ratio masih tergolong kecil padahal masih banyak wajib pajak melalui NPWP yang seharusnya bisa dipantau oleh pemerintah dalam mendukung penerimaan negara.
"PDB kita terus meningkat, tetapi tax ratio kita secara konsisten menurun. Itu artinya ada poin atau angka PDB yang belum diproteks dan termitigasi teksnya, ini yang disampaikan BPK dalam temuannya. Ini merupakan bagian jangka panjang bagi pemerintah untuk memitigasi risiko agar terus menggali pendapatan yang belum termitigasi guna bisa ditarik pajaknya. Karena banyak sekali di lapangan NPWP yang dorman itu banyak sekali," paparnya.
Advertisement