Liputan6.com, Jakarta - Direktur Utama PT Bank Central Asia Tbk (BCA) Jahja Setiaatmadja bercerita soal krisis ekonomi yang telah dan tengah dihadapi oleh Indonesia dari waktu ke waktu. Ia menjabarkan kondisi yang terjadi pada krisis moneter 1998, krisis keuangan global 2008 dan krisis akibat pandemi Corona di 2020.
Jahja mengibaratkan krisis ini dengan penyakit yang biasa diidap manusia. "Mudahnya, saya bandingkan dengan orang yang kena penyakit. Tahun 1998 itu orang yang kena serangan jantung, lalu ditolong, ada program recovery, dan dia bisa back to normal," jelas Jahja dalam diskusi online, Rabu (10/6/2020).
Kemudian, krisis keuangan 2008 dianalogikan seperti orang yang terkena migrain. Dia hanya perlu beberapa obat untuk bisa segera sembuh. Terakhir, krisis ekonomi di 2020 diibaratkannya seperti orang yang terkena troke.
Advertisement
"Recovery akan jauh lebih lama. Stroke memang enggak mematikan langsung, tapi pemulihannya akan lama," katanya.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
BCA Kenal Rush
Jahja juga bercerita, saat krisis moneter 1998 mulai mencuat, IMF memberi saran untuk menutup 16 bank, tepatnya pada November 1997. Saat itu, program penjaminan belum ada.
Akhirnya, penutupan 16 bank ini menimbulkan kepanikan di masyarakat. Mereka kemudian memindahkan dana mereka ke bank-bank besar yang dianggap lebih aman.
"Tapi di awal 1998, ada gejolak politik dan bank swasta kena rumor politik, begitu juga BCA. Orang-orang yang tadinya pindahkan dana ke bank besar langsung panik. Kita rush, lebih dari 35 persen DPK kita ditarik mereka yang panik," kenangnya.
Advertisement
Tidak Terlalu Mematikan
Berbeda dengan kondisi tahun 1998, menurut Jahja, saat ini krisis ekonomi yang ditimbulkan akibat dampak Corona tidak terlalu mematikan, apalagi program penjaminan sudah terbentuk dengan baik.
"Saat baru dikenalkan program penjaminan, masyarakat yang dananya Rp 2 miliar ke bawah harusnya lebih tenang dan tidak rush," katanya.