Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah menaikkan iuran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan (BPJS Kesehatan) untuk kelas I dan II yang berlaku mulai 1 Juli 2020. Kenaikan iuran ini tertuang dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 64 Tahun 2020 tentang Perubahan Kedua Atas Perpres Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan.
Dikutip dari aturan tersebut, Senin (29/6/2020), pada Pasal 34 ditulis bahwa kenaikan iuran BPJS Kesehatan pada tahun ini hanya berlaku untuk peserta Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU) serta Bukan Pekerja (BP) kelas I dan II.
Baca Juga
"Iuran bagi Peserta PBPU dan Peserta BP dengan Manfaat pelayanan di ruang perawatan Kelas I yaitu sebesar Rp 150.000,00 per orang per bulan dibayar oleh Peserta PBPU dan Peserta BP atau pihak lain atas nama peserta," demikian bunyi Pasal 34 ayat 3 Perpres Nomor 64/2020.
Advertisement
"Iuran bagi Peserta PBPU dan Peserta BP dengan Manfaat pelayanan di ruang perawatan Kelas II yaitu sebesar Rp 100.000,00 per orang per bulan dibayar oleh Peserta PBPU dan Peserta BP atau pihak lain atas nama peserta," demikian bunyi Pasal 34 Perpres Nomor 64/2020," tulis Pasal 34 ayat 2.
Sementara untuk peserta BPJS kesehatan PBPU dan BP kelas III besaran iurannya baru akan naik pada 2021 mendatang. "Iuran Kelas III Tahun 2020 sebesar Rp 25.500,00, tahun 2021 dan tahun berikutnya menjadi Rp 35.000,00."
Dirangkum Liputan6.com, berikut ini beberapa fakta mengenai kenaikan iuran BPJS Kesehatan:
Â
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Alasan Iuran Naik
Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Muhadjir Effendy mengatakan ada kesenjangan antara iuran dan pemanfaatan dalam program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Sehingga perlu ada perbaikan ekosistem yang berkesinambungan dalam program JKN.
Muhajir mengatakan kesinambungan program JKN perlu diperbaiki dengan mempertimbangkan beberapa hal. Pertama pengutan JKN sebagai skema asuransi sosial bersifat wajib.
Dalam hal ini ada beberapa agenda yang harus diselesaikan. Muhajir menyebut seluruh penduduk yang menjadi peserta sudah seharusnya wajib membayar iuran. Sementara penduduk miskin atau tidak mampu iuran menjadi tanggungan pemerintah.
"Artinya dibayar pemerintah baik lewat (pemerintah) pusat dan pemda," kata Muhajir dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi IX DPR-RI di Gedung DPR, pada Kamis 11 Juni 2020.
Kedua, mengenai manfaat yang dijamin dalam program JKN yakni kebutuhan dasar dengan kelas rawat inap standar. Beberapa isu dalam hal ini yaitu memperjelas keharusan perawatan dan kebutuhan yang bisa di-cover oleh program JKN.
Lalu definisi tentang kebutuhan dasar ini harus perhitungkan kecukupan dan kapasitas pendanaan. Semua itu harus diatur dalam peraturan presiden.
Ketiga, meninjau kembali iuran, manfaat dan tarif layanan secara konsisten dan reguler. Pada poin ini peninjauan kembali harus dilakukan dengan pendekatan aktuaria yang konsisten dan akuntabel.
Peninjauan ini pertimbangkan paling sedikit pemenuhan kebutuhan dasar kesehatan, kemampuan bayar peserta, inflasi kesehatan dan potensi perbaikan program yang ada.
Advertisement
Defisit Menyusut
Dengan Kenaikan iuran, Defisit BPJS Kesehatan di 2020 diproyeksikan akan menyusut Rp 185 miliar.
"Pada akhir tahun diproyeksikan kurang lebih (jika) situasi semakin lebih baik walaupun masih defisit Rp 185 miliar," kata Direktur Utama BPJS Kesehatan Fachmi Idris, dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi IX DPR-RI di Gedung DPR, pada Kamis 11 Juni 20202020.
Kenaikan iuran BPJS Kesehatan juga diproyeksikan akan surplus Rp 3,791 triliun jika kenaikannya sesuai dengan Perpres Nomor 75 tahun 2019 tentang Jaminan Kesehatan. Namun hal ini tidak akan terjadi karena aturannya telah dibatalkan oleh Mahkamah Agung (MA).
"Kalau tadi digambarkan sebelum putusan MA proyeksi surplus Rp 3,791 triliun," ungkap Fachmi.
Pada akhirnya iuran BPJS Kesehatan mengalami penyesuaian dengan Perpres Nomor 82 tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan. Berdasarkan acuan iuran tersebut Fachmi menyebut BPJS Kesehatan akan kembali mengalami defisit mencapai Rp 3 triliun.
Kembali Digugat
Perpres Nomor 64 Tahun 2020 Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 mengenai kenaikan iuran BPSJ Kesehatan kembali digugat ke Mahkamah Agung, pada Kamis 4 Juni 2020. Penggugat adalah Faisal Wahyudi Wahid Putra, melalui kuasa hukumnya Tim Advokasi Peduli Hukum Indonesia.
Salah satu perwakilan tim advokasi, Johan Imanuel menegaskan, hak uji materiil ini merupakan hak Warga Negara Indonesia yang dijamin oleh UUD 1945.
"Oleh karenanya pemohon yang keberatan dengan kehadiran adanya kenaikan iuran dalam Perpres Nomor 64 Tahun 2020 khususnya Pasal 34 sudah tepat melakukan permohonan ini ke Mahkamah Agung," kata Johan.
Dia mengatakan, Pasal 34 dinilai tidak berlandasan asas kemanusian, manfaat dan keadilan sosial bagi seluruh masyarakat. Bahkan Perpres tersebut dibentuk tidak mendasari asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik.
"Keberatan Pemohon jelas menyatakan bahwa Pasal 34 bertentangan dengan UU No 40/2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional juncto UU No 24/2011 Tentang BPJS juncto UU No 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan juncto UU No 12 Tahun 2011 Sebagaimana Telah Diubah Dengan UU No 15/2019 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan," jelas Johan.Â
Advertisement
Naik Saat Kondisi Tidak Pas
Ketua Umum DPD impunan Pengusaha Pribumi Indonesia (HIPPI) Provinsi DKI Jakarta Sarman Simanjorang menilai keputusan tersebut kurang tepat untuk diambil dalam situasai pandemi seperti saat ini.
"Menurut hemat kami, dalam kondisi seperti ini, kurang pas ya waktunya untuk menaikkan iuran BPJS," ujarnya kepada Liputan6.com, pada Minggu 17 Mei 2020.
Menurut Sarman, beban pengusaha saat ini masih berat, kalaupun Perpres 64/2020 berlaku pada Juli nanti, tidak ada jaminan bahwa pada bulan tersebt dunia usaha sudah dalam kondisi stabil.
"Nah kalau tidak pada kondisi stabil ini kan sangat memberatkan." kata dia.
Sebelum keluarnya Perpres 64/2020, Sarman mengaku telah menyampaikan kepada pemerintah untuk membererikan dispensasi untuk beberapa iuran atau kewajiban pengusaha.
"Termasuk BPJS yang ketenagakerjaan dan BPJS kesehatan itu beberpa bulan ke depan itu diberikna dispensasai, tidak membayar karena sangat beban pengusaha saat ini untuk memikirkan gaji bulanan karyawan, dan biaya operasional lainnya.
"Mikirin gaji, mikirin THR, dan segala macam biaya operasional, di satu sisi pemasukan sangat berkurang," kata Sarman.
Â
Turun Kelas
Sekretaris Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Agus Suyatno mengatakan, migrasi kelas peserta ini sebenarnya telah ramai terjadi sejak pemerintah menaikkan iuran BPJS Kesehatan pada awal tahun ini.
"Migrasi ini sudah banyak dilakukan pasca kenaikan periode I. Tidak ada ketentuan yang melarang peserta turun kelas," ujar dia kepada Liputan6.com seperti ditulis, pada Jumat 15 Mei 2020.
Dengan adanya aturan kenaikan iuran yang baru ini, YLKI belum bisa memprediksi perpindahan kelas peserta ini akan bertambah seberapa besar. Tapi Agus berpendapat, masyarakat akan tergiur untuk beralih lantaran adanya tuntutan ekonomi tinggi di tengah pandemi virus Corona (Covid-19) saat ini.
"Tapi kemungkinan akan besar, melihat situasi ekonomi masyarakat sedang down di masa wabah ini," ungkap dia.
Advertisement