Liputan6.com, Jakarta - Berdasarkan World Meteorological Organization (WMO), selama masa pandemi Covid-19, emisi gas rumah kaca (GRK) mengalami penurunan hingga 6 persen. Hal ini bisa terlihat beberapa waktu lalu bisa melihat langit berwarna biru.
Sayangnya, penurunan emisi tersebut disinyalir hanya dalam jangka pendek. Malah belanja carbon mengalami peningkatan dari yang seharusnya menurun.
"Setelah kita lakukan pendalaman, ternyata hanya sementara, itu harus dengan peta jalan yang konkret. Ini harus dipantau carbon reduction," kata Kepala Pusat Kebijakan Sektor Keuangan, Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan, Adi Budiarso dalam Webinar LPPI bertajuk 'Mengelola Disrupsi Kembar', Jakarta, Jumat (3/7).
Advertisement
Pola laju emisi umumnya beriringan dengan laju pertumbuhan ekonomi pasca krisis. Kasus di Amerika Serikat menunjukkan, pasca krisis bangkitnya perekonomian juga memicu peningkatan laju emisi.
Berdasarkan Natural Change dan Global Carbon Project, sejak negara-negara merelaksasi kebijakan penguncian wilayah (lockdown) demi pemulihan ekonomi, tingkat emisi Co2 dari bahan bakar fosil kembali meningkat. Walaupun sebelumnya sempat mengalami penurunan drastis di Bulan Maret dan April 2020.
Peningkatan intensitas emisi gas rumah kaca di atmosfer terus mengalami tren peningkatan. Sehingga mempercepat terjadinya perubahan iklim .
Berdasarkan Global Risk Report 2019, risiko lingkungan dan potensi kerugian ekonomi akibat perubahan iklim diprediksi semakin besar. Apalagi Indonesia merupakan salah satu negara yang rentan terhadap bencana ekologis akibat perubahan iklim.
Adi menjelaskan, perubahan iklim sudah menjadi masalah global. Diprediksi suhu di udara bisa mengalami peningkatan 1-2 derajat. Jika terjadi kenaikan suhu 1, derajat akibatnya ada banyak hewan yang akan punah.
"Kita harus serius menjaga pemanasan global. Jangan sampai naik 1,5 derajat," kata Adi.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Antisipasi Pemerintah
Adi melanjutkan, hal ini perlu diantisipasi oleh pemerintah Indonesia. Mengingat, negara ini masih berkomitmen untuk mencapai target National Determined Contribution (NDC) di tahun 2030.
Jika laju emisi gas rumah kaca saat pemulihan ekonomi tidak diantisipasi, maka akan mempersulit upaya pencapaian target NDC tersebut. Namun, disisi lain upaya pemulihan ekonomi nasional (PEN) mempersulit ruang fiskal untuk membiayai aksi perubahan iklim.
Untuk itu, pemerintah perlu memobilisasi sumber pembiayaan di luar dana publik (APBN). Agar, upaya pencapaian target NDC bisa tetap berjalan sesuai rencana.
Saat ini Indonesia sedang bekerja sama dengan pihak lain untuk mencapai tujuan tersebut. Setidaknya pembiayaan yang diperlukan mencapai USD 250 miliar per tahun sampai tahun 2030.
"Pembiayaannya juga kita hitung sampai Rp 250 triliun per tahun, kata Adi.
Reporter: Anisyah Al Faqir
Sumber: Merdeka.com
Advertisement