IMF: Perempuan Korban Paling Tersakiti dari Resesi Imbas Pandemi Covid-19

Dampak krisis terhadap perempuan juga lebih terasa di rumah.

oleh Nurmayanti diperbarui 22 Jul 2020, 08:00 WIB
Diterbitkan 22 Jul 2020, 08:00 WIB
Buruh atau pekerja perempuan di sebuah pabrik di Purbalingga, Jawa Tengah. (Foto: Liputan6.com/Kominfo PBG/Muhamad Ridlo)
Buruh atau pekerja perempuan di sebuah pabrik di Purbalingga, Jawa Tengah. (Foto: Liputan6.com/Kominfo PBG/Muhamad Ridlo)

Liputan6.com, Jakarta Para ekonom Lembaga Moneter Internasional (IMF) memperingatkan jika resesi dampak pandemi Covid-19 paling menyakiti kaum perempuan dibandingkan laki-laki.

Bahkan dampaknya bisa berlanjut hingga bertahun-tahun jika anggota parlemen tidak segera meningkatkan upaya untuk memperbaiki kondisi para perempuan, di negaranya masing-masing.

"Pandemi Covid-19 mengancam peluang ekonomi bagi perempuan, memperluas kesenjangan gender yang akan kembali bertahan meskipun telah ada kemajuan selama 30 tahun," kata pejabat IMF yang dipimpin Direktur Pelaksana Kristalina Georgieva, seperti melansir CNN, Rabu (21/7/2020).

Berbeda dengan resesi 2008, yang oleh sebagian orang dijuluki man-cession, kehilangan pekerjaan akibat resesi kali ini paling akut menimpa bidang-bidang di mana perempuan berkecimpung secara tidak proporsional.

Terutama mereka yang banyak mengandalkan pekerjaan yang membutuhkan interaksi tatap muka seperti ritel, pariwisata, dan layanan lainnya.

Para ekonom mengatakan akan membutuhkan waktu yang lama sampai sektor ini kembali ke kondisi semula, seperti sebelum Covid-19.

Dampak [krisis ](https://www.liputan6.com/tag/resesi "")terhadap perempuan juga lebih terasa di rumah. Kaum perempuan cenderung mengambil tanggung jawab tambahan, seperti mengawasi anak akibat penutupan sekolah dan layanan penitipan anak.

Penutupan sekolah dan penitipan anak telah mengubah kehidupan rumah bagi jutaan orang. Situasi ini disebut IMF yang biasanya lebih memberatkan perempuan daripada pria.

Bahkan bila terjadi kebijakan lockdown lanjutan, bisa ikut menghilangkan pekerjaan bagi mereka. "Kondisi perempuan yang harus mengurus anak dan beban pekerjaan rumah, dapat mencegah mereka bisa kembali menggeluti pekerjaan sebelumnya meski ekonomi dibuka kembali," isi laporan IMF.

Dampaknya, saat semakin lama kehilangan pekerjaan, semakin sulit bagi mereka untuk kembali ke pasar kerja.

Di negara-negara berkembang, perempuan juga lebih cenderung bekerja di sektor ekonomi informal. Ini berarti lebih sedikit keamanan kerja, tabungan lebih sedikit dan tidak ada manfaat kesehatan.

Epidemi sebelumnya menunjukkan bahwa anak perempuan lebih mungkin putus sekolah daripada anak laki-laki, yang menyebabkan hilangnya sumber daya manusia secara permanen.

 

Tonton Video Ini

Apa yang Bisa Dilakukan Pemerintah

karakter zodiak
Ilustrasi perempuan bekerja/Photo by Andrea Piacquadio from Pexels

IMF mengatakan dampak yang tidak proporsional pada perempuan dapat dikurangi, dengan kebijakan khusus. "Apa yang baik bagi perempuan pada akhirnya baik untuk mengatasi ketidaksetaraan pendapatan, pertumbuhan ekonomi, dan ketahanan," kata laporan IMF.

Anggota parlemen dapat memperluas bantuan pengangguran, atau memberikan insentif untuk menyeimbangkan tanggung jawab pekerjaan dan perawatan keluarga, serta menawarkan akses ke perawatan kesehatan dan keluarga berencana, kata IMF.

Beberapa negara sudah menerapkan kebijakan semacam itu. Berbagai negara Eropa, termasuk Italia dan Austria, telah menerapkan hak hukum untuk cuti bagi orang tua dengan anak di bawah usia tertentu, dan Prancis telah memperluas cuti sakit untuk orang tua yang terkena dampak penutupan sekolah.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Tag Terkait

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya