Liputan6.com, Jakarta - Peneliti Senior Universitas Padjadjaran (Unpad) Bayu Kharisma mengingatkan pentingnya antisipasi dampak resesi terhadap kelangsungan Usaha Kecil Menengah (UKM) dan bagi pekerja pabrik.
“Indonesia sekarang ini menuju ambang resesi, secara umum pasti yang akan terasa adalah daya beli masyarakat semakin terpukul. Selain itu, akan memberikan dampak negatif bagi UKM. Tahun 2021 saya rasa adalah cobaan berat kepada pelaku kelompok UKM dan pekerja pabrikan golongan 2 dan 3," katanya dikutip dari Antara, Selasa (3/11/2020).
Baca Juga
Pilihan untuk bertahan nampaknya juga sulit karena produktifitas akan terbatas selama pandemi masih berlangsung di negeri ini. Dengan kondisi perekonomian yang semakin terpuruk akibat resesi, negara harus mengeluarkan kebijakan yang melindungi sektor UKM, termasuk UKM dari sektor Industri Hasil Tembakau (IHT).
Advertisement
Sementara itu Ketua Harian Forum Masyarakat Industri Rokok Seluruh Indonesia (Formasi) Heri Susianto mengatakan jika tarif cukai harus naik demi memenuhi target penerimaan, memang dianggap wajar.
Menurutnya, yang tidak wajar adalah komposisi kenaikannya. “Kami memohon kepada pemerintah untuk kembali menyesuaikan kenaikan cukai yang lebih realistis yaitu di sekitaran angka 7 hingga 10 persen," katanya.
Kalkulasi anggaran yang ditetapkan pemerintah lewat Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja (RAPBN) 2021 adalah target penerimaan cukai sebesar Rp 178,5 triliun.
Secara spesifik, target penerimaan cukai hasil tembakau pada 2021 sebesar Rp 172,75 triliun atau lebih tinggi 4,7 persen dibanding target tahun 2020 senilai Rp 164,94 triliun. Jumlah ini setara dengan kenaikan sebesar Rp 7,81 triliun dibanding target tahun 2020.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Indonesia Resesi, Rizal Ramli Sebut Tim Ekonomi Jokowi Tak Punya Terobosan
Ekonom senior Rizal Ramli turut mengomentari pernyataan Presiden Joko Widodo (Jokowi) tentang pertumbuhan ekonomi pada kuartal III 2020 yang diperkirakan masih negatif dan membuat Indonesia resmi terkena resesi. Menurutnya, itu bukanlah sesuatu yang mengejutkan.
Pasalnya, sejak awal tim ekonomi tidak memiliki terobosan dalam membangkitkan perekonomian yang tengah terpuruk.
"Tidak ada surprise sudah diperkirakan sejak awal tahun 2020 karena kebijakan ekonomi super-konservatif dan neoliberal yang sudah gagal. Pertanyaan yang lebih penting, apa yang akan dilakukan Jokowi, mengulangi cara yang sama yang telah berulang gagal? Atau ubah strategi dan pecat Menteri Neoliberal dan KKN?" ujar Rizal Ramli dalam keterangannya, Selasa (3/11/2020).
Rizal sendiri telah menyatakan, perekonomian Indonesia sudah masuk dalam resesi sejak kuartal II tahun 2020. Penilaian Menko Ekuin pemerintahan Abdurrahman Wahid alias Gus Dur itu didasarkan pada rumusan yang lazim di dunia internasional.
Menurutnya, hal itu tercermin dari pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal I 2020 yang sebesar 2,97 persen sudah mengalami kontraksi 2 persen dibandingkan dengan kuartal IV 2019 yang tumbuh 4,97 persen.
"Kemudian pada kuartal II, pertumbuhan ekonomi lagi-lagi terkontraksi -5,32 persen atau minus 4,19 persen ketimbang kuartal I 2020. Kalau berdasarkan rumusan dunia internasional bila ekonomi terus merosot selama dua kuartal ya berarti resesi," tutur Rizal.
Terkait resesi, sambung Rizal Ramli, sebenarnya sejak tahun lalu sudah banyak indikator yang menunjukkan bahwa kondisi ekonomi di Indonesia melemah terlepas ada atau tidaknya pandemi Covid-19.
"Sejak satu setengah tahun yang lalu, kami sudah ingatkan bahwa ada indikator-indikator yang menunjukkan ekonomi Indonesia mengalami perlambatan baik secara makro eknomi dengan menggunakan indikator misalnya trade surplusnya makin mengecil," kata Rizal Ramli.
Indikator lain yang menunjukkan ekonomi Indonesia melemah adalah transaksi berjalan defisitnya semakin lebar. Kemudian primary balance yang negatif, artinya untuk bayar bunga bank saja Indonesia harus utang.
"Kalau primary balance-nya positif itu tidak, tapi kalau satu negara hanya untuk bayar utang juga mesti ngutang itu negatif primary balance-nya dan ini adalah faktor perlambatan ekonomi," ujar Rizal Ramli.
Advertisement
Tax Ratio
Kemudian, lanjut Rizal, tax ratio (penerimaan pajak dibanding PDB) sejak tahun lalu hanya 10 persen dan saat ini bahkan negatif. Ini menunjukkan otoritas fiskal tidak efektif.
"Karena doyannya nguber (mengejar) yang kecil-kecil doang, sama yang gede-gede tidak berani justru dikasih tax holiday dan pembebasan pajak 20 tahun, dan sebagainya," tuturnya.
Jadi, menurut Rizal, strategi Menteri Keuangan terbalik karena hanya fokus mengejar pajak kalangan menengah ke bawah atau yang kecil. Alhasil, tidak aneh jika penerimaan pajak menjadi kecil karena tidak fokus dengan yang besar.
"Sehingga sejak satu setangah tahun yang lalu, semua indikator makro Indonesia sudah merosot dan ekonomi akan melambat," tandas Rizal.Â