OJK Jamin Implementasi e-KYC di Industri Keuangan

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menjamin implementasi Electronic Know Your Customer (e-KYC) pada jasa industri keuangan

oleh Pipit Ika Ramadhani diperbarui 01 Des 2020, 15:47 WIB
Diterbitkan 01 Des 2020, 15:47 WIB
20151104-OJK
Tulisan OJK terpampang di Kantor Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Jakarta. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Jakarta Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menjamin implementasi Electronic Know Your Customer (e-KYC) pada jasa industri keuangan dalam negeri.

Kepala Grup Penanganan Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme (APU PPT) OJK, Heni Nugraheni menyebutkan, landasan yang dimaksud yakni Peraturan OJK Nomor 12/POJK.01/2017 sebagaimana diubah dengan Nomor 23/POJK.01/2019 tentang penerapan program APU PPT di sektor jasa keuangan.

Aturan ini memuat setidaknya empat fokus utama, antara lain; risk assessment TPPU/TPPT, kebijakan dan prosedur APU dan PPT, CDD berbasis teknologi, dan sistem informasi manajemen.

“Jadi, semua produk baru, bisnis baru, distribusi maupun teknologi baru, sebelum digunakan mereka harus melakukan penilaian risiko TPPU/TPPT. Ini untuk memastikan bahwa nanti produk, bisnis, distribusi, channel maupun teknologi ini tidak dijadikan sarana untuk melakukan pencucian uang atau pendanaan teroris,” ujar Heni dalam Webinar eKYC: Solusi Digital untuk Akselerasi Keuangan Inklusif,” Selasa (1/12/2020).

Setelah itu, diturunkan dari risk assessment dalam bentuk kebijakan dan prosedur yang harus sejalan dengan pengembangan produk layanan teknologi yang ada. Serta memperrimbangkn faktor yeknologi yang berpotensi untik disalah gunakan

“Dengan kebijakan ini maka mereka (penyedia layanan) akan mampu memitigasi risiko yang telah diidentifikasi,” kata Heni.

Khusus untuk CDD berbasis teknologi, Heni mengatakan OJK sudah mengaturnya. Dimana ada beberapa kemungkinan melakukan proses CDD dengan memanfaatkan teknologi informasi atau sarana elektronik.

“Kami wajibkan apabila mereka menggunakan sarana elektronik maka ada dua faktor autentikasi yang diwajibkan bagi penyedia jasa keuangan. Kita minta untuk penyedia jasa mampu mengidentifikasi, menganalisis dan memantau laporan secara elektronik secara efektif,” jelas Heni.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

Kebijakan OJK Terbukti Jaga Stabilitas Sektor Jasa Keuangan

20151104-OJK Pastikan Enam Peraturan Akan Selesai Pada 2015
Petugas saat bertugas di Kantor Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Jakarta. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Sektor keuangan Indonesia dinilai masih stabil dan sehat di tengah pandemi COVID-19. Sejumlah indikator utama, mulai dari kualitas aset hingga likuiditas, juga masih terjaga.

Direktur Riset Core Center of Reform on Economic (CORE) Indonesia Piter Abdullah mengatakan, hal tersebut tak terlepas dari kerja pengawasan dan berbagai kebijakan yang dilakukan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Menurut dia, sejak awal pandemi ini OJK bergerak cepat dengan mengeluarkan kebijakan restrukturisasi kredit.

"Kebijakan restrukturisasi kredit menahan lonjakan NPL (non performing loan), yang kemudian ikut menjaga likuiditas dan profitabilitas perbankan, serta lembaga keuangan nonbank,” ujar Piter saat dihubungi, Senin (30/11/2020).

Dia melanjutkan, ketahanan di sektor keuangan ini memunculkan kepercayaan pelaku pasar, yang mendorong bangkitnya kembali pasar modal.

Sementara itu, pertumbuhan kredit terkontraksi sebesar 0,47 persen (yoy) per Oktober 2020. Kontraksi kredit perbankan lebih banyak disebabkan menurunnya kredit modal kerja dampak masih tertekannya permintaan pada sektor usaha.

Piter melanjutkan, pertumbuhan kredit memang rendah akibat melambatnya sektor riil di tengah pandemi. Sehingga, permintaan kredit menurun drastis.

“Dan perbankan sangat berhati-hati dalam menyalurkan kredit. Perbankan fokus dalam menjaga kualitas kredit dan mengutamakan restrukturisasi kredit ketimbang menyalurkan kredit baru,” jelasnya.

Pertumbuhan kredit yang rendah tersebut juga dinilai hal yang normal di tengah situasi resesi saat ini. Hal tersebut justru menunjukkan kehati-hatian perbankan.

“Ini bukan suatu yang buruk. Justru memaksa bank menyalurkan kredit di tengah pandemi lebih berisiko dan membahayakan perbankan dan sistem keuangan,” kata Piter.

Ekonom Universitas Indonesia (UI) Ninasapti Triaswati juga mengatakan, pertumbuhan kredit yang negatif itu menunjukkan kepercayaan pasar masih rendah akibat pertumbuhan ekonomi yang juga terkontraksi.

“Salah satu penyebab utama adalah belum jelasnya kebijakan untuk mengatasi pandemi COVID-19, terutama di kota-kota besar di Jawa (Jabodetabek, Semarang, wilayah Surabaya Raya, Bandung) yang merupakan sumber pertumbuhan ekonomi utama di Indonesia,”tutur Nina.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya