Liputan6.com, Jakarta - Bank Indonesia (BI) melaporkan volume transaksi pembayaran digital melalui QRIS (Quick Response Code Indonesian Standard) terus menunjukkan pertumbuhan yang signifikan, meskipun ada kritik yang dilontarkan oleh Pemerintah Amerika Serikat.
Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo, menyampaikan pada triwulan I 2025, transaksi QRIS tercatat tumbuh 169,15% dibandingkan tahun sebelumnya (year-on-year/yoy), didorong oleh peningkatan jumlah pengguna dan merchant.
Advertisement
"Volume transaksi pembayaran digital melalui QRIS tetap tumbuh tinggi sebesar 169,15% (yoy) didukung peningkatan jumlah pengguna dan merchant," kata Perry dalam konferensi pers RDG BI, Rabu (23/4/2025).
Advertisement
Menurut Perry, pertumbuhan ini mencerminkan kuatnya sistem pembayaran nasional yang aman, efisien, dan terpercaya. Dari sisi transaksi, pembayaran digital pada triwulan I 2025 mencapai 10,76 miliar transaksi atau tumbuh 33,50% (yoy) didukung peningkatan seluruh komponen.
Volume transaksi aplikasi mobile dan internet terus tumbuh masing-masing sebesar 34,51% (yoy) dan 18,89% (yoy). Dari sisi infrastruktur, volume transaksi ritel yang diproses melalui BI-FAST mencapai 1,07 miliar transaksi atau tumbuh 57,68% (yoy), dengan nilai mencapai Rp2.741,81 triliun.
Kemudian, BI mencatat volume transaksi nilai besar yang diproses melalui BI-RTGS tumbuh sebesar 0,69% (yoy) menjadi 2,47 juta transaksi dengan nilai Rp46.281,21 triliun. Sementara dari sisi pengelolaan uang Rupiah, Uang Kartal Yang Diedarkan (UYD) tumbuh 15,51% (yoy) menjadi Rp1.240,12 triliun pada triwulan I 2025.
Transaksi QRIS Selama Ramadan dan Idul Fitri
Adapun Bank Indonesia mencatat transaksi digital melalui QRIS selama periode Ramadan dan Idulfitri (RAFI) 2025 juga meningkat, dengan rata-rata pertumbuhan volume transaksi per pengguna mencapai 111% (yoy), lebih tinggi dibandingkan periode RAFI 2024 sebesar 76%.
Sementara itu, pertumbuhan UYD selama periode RAFI 2025 mencapai 8,63% (yoy), sedikit lebih tinggi dibandingkan 8,44% (yoy) pada periode RAFI 2024.
Perry menyampaikan stabilitas sistem pembayaran tetap terjaga, ditopang oleh infrastruktur yang stabil dan struktur industri yang sehat.
Sisi Infrastruktur
Dari sisi infrastruktur, stabilitas sistem pembayaran tecermin pada penyelenggaraan Sistem Pembayaran Bank Indonesia (SPBI) yang lancar dan andal serta kecukupan pasokan uang dalam jumlah dan kualitas yang memadai pada triwulan I 2025, termasuk selama periode RAFI 2025.
Dari sisi struktur industri, interkoneksi antarpelaku dalam sistem pembayaran terus menguat diikuti oleh ekosistem Ekonomi Keuangan Digital (EKD) yang meluas. Transaksi pembayaran berbasis Standar Nasional Open API Pembayaran (SNAP) juga meningkat sejalan dengan perluasan tingkat adopsi.
Ke depan, Bank Indonesia akan terus memastikan ketersediaan, keandalan, dan keamanan SPBI serta sistem pembayaran industri. Bank Indonesia terus menjaga ketersediaan uang Rupiah dalam jumlah yang cukup dengan kualitas yang layak edar di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), termasuk daerah Terdepan, Terluar, dan Terpencil (3T).
Advertisement
Ekonom Sebut QRIS yang Disorot AS Justru Perlu Dipertahankan, Barang Selundupan Harus Dibasmi
Sebelumnya, Pemerintah Amerika Serikat (AS) melalui Kantor Perwakilan Dagang (USTR) menyoroti Sistem pembayaran Quick Response Code Indonesian Standard (QRIS). Hal itu tertuang dalam laporan National Trade Estimate (NTE) Report on Foreign Trade Barriers yang dirilis akhir Maret 2025.
Tak hanya itu, AS juga menyoroti terkait Pasar Mangga Dua yang merupakan salah satu pusat belanja bajakan ternama di Indonesia yang dinilai mencederai hak-hak kekayaan intelektual produk Amerika Serikat.
Di sisi lain, dalam bernegosiasi tarif dengan AS indonesia juga akan memperbaiki kebijakan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN). Lantas bagaimana Indonesia menghadapi tantangan-tantangan tersebut dalam bernegosiasi tarif dengan AS?
Ekonom Universitas Paramadina, Wijayanto Samirin, menegaskan sejumlah catatan seperti TKDN dan ekonomi bawah tanah memang perlu dibenahi, namun bukan semata karena tekanan eksternal.
“Beberapa hal terkait TKDN dan underground economy memang merupakan PR besar kita. Dengan atau tanpa tuntutan dari AS, kita harus perbaiki, untuk meningkatkan daya tarik investasi dan melindungi produsen dalam negeri dari serangan produk ilegal atau selundupan,” ujarnya kepada Liputan6.com, Senin (24/4/2025).
Namun, Wijayanto menegaskan Indonesia tidak harus tunduk pada semua desakan dari AS. Menurutnya, negosiasi adalah ruang tarik-menarik kepentingan, dan ada hal-hal yang merupakan bagian dari kepentingan nasional.
Adapun, terkait QRIS, Wijayanto menilai ini menyangkut national interest dan national security yang perlu dipertahankan.
“Sedangkan soal barang selundupan dan palsu, ini memang harus direspons secepatnya, bukan karena AS, tapi karena demi kepentingan produsen lokal kita,” tambahnya.
Kompromi Tetap Diperlukan
Sementara itu, Ekonom Universitas Gadjah Mada (UGM), Eddy Junarsin, menilai dalam konteks hubungan perdagangan global, kompromi tetap diperlukan. Ia menekankan pentingnya prinsip take and give dalam perundingan.
“Tarif dan perizinan impor kita memang harus dinegosiasikan karena bagaimanapun juga Amerika Serikat merupakan kekuatan ekonomi, politik, dan militer. Yang penting adalah take and give, jadi kita tidak cuma memberi, tapi juga meminta berbagai kemudahan,” ujar Eddy kepada Liputan6.com.
Junarsin juga menyoroti pentingnya mengalihkan perhatian dari sektor perdagangan informal seperti Mangga Dua ke arah pengembangan teknologi dan inovasi. Ia mengusulkan pendekatan baru yang lebih produktif terhadap kawasan tersebut.
“Eksistensinya menjadi tanda tanya. Saya kira sudah saatnya bakat-bakat bagus Indonesia diarahkan ke R&D, invensi, inovasi, dan komersialisasi berbagai teknologi baru. Jadi, Mangga Dua bisa jadi Technology Center di Jakarta dan Indonesia dalam artinya sebenarnya,” jelasnya.
Pertahankan Tujuan Strategis Nasional
Mengenai TKDN dan QRIS, Junarsin menyarankan pendekatan fleksibel yang tetap mempertahankan tujuan strategis nasional namun cukup lentur untuk kebutuhan diplomasi perdagangan.
“TKDN dan QRIS perlu dipertahankan dan diperjuangkan dalam negosiasi. Misalnya, tingkat TKDN diturunkan menjadi X% untuk dua tahun ke depan, namun setelahnya TKDN dinaikkan ke angka semula. Ini hanya contoh dalam mekanisme negosiasi,” pungkasnya.
Advertisement
