Liputan6.com, Jakarta - Implementasi bea materai Rp 10.000 dilaporkan tidak berjalan lancar. Ombudsman Republik Indonesia pun meminta Menteri Keuangan Sri Mulyani dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menerbitkan peraturan pelaksanaan terkait UU Nomor 10 Tahun 2020 tentang Bea Materai.
Anggota Ombudsman, Alvin Lie, mengatakan pihaknya telah menerima sejumlah keluhan dari masyarakat mengenai implementasi bea materai baru. Masyarakat melaporkan ada pihak bank yang meminta biaya materai tambahan, melebihi yang diterapkan dalam UU tersebut.
"Untuk menghindari kekisruhan dan kerugian masyarakat, Ombudsman menyerukan kepada Menkeu dan OJK untuk segera menerbitkan peraturan pelaksanaan UU tersebut, terutama kepada bank. Hal ini tentang cara penambahkan kekurangan biaya materai, sehingga bank tidak memungut biaya dua kali," jelas Alvin dalam keterangannya pada Rabu (6/1/2020).
Advertisement
Alvin menjelaskan, Ombudsman menerima keluhan dari sejumlah nasabah bank tentang bea materai. Menurut mereka, pihak bank menolak menghargai bea materai Rp 3.000 yang sudah tercetak pada buku cek.
Kemudian, para nasabah pun diharuskan menambah materai baru senilai Rp 10.000. Total bea materai yang harus dibayar nasabah sebesar Rp 13.000.
"Seharusnya pihak bank cukup menambahkan Rp 7.000 pada materai lama, sehingga total tetap Rp 10.000," tutur Alvin.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Masa Transisi Materai Rp 6.000 dan Rp 3.000
Materai Rp 10.000 belum didistribusikan, dan masyarakat diberikan waktu selama satu tahun masa transisi untuk menggunakan sisa materai RP 6.000 dan Rp 3.000 yang ada.
Minimal bea materai yang bisa digunakan senilai Rp 9.000. Ada tiga cara penggunaannya.
Pertama dengan menempelkan dua materai Rp 6.000, lalu menggunakan materai Rp 6.000 dan Rp 3.000 bersamaan. Cara ketiga menggunakan tiga materai Rp 3.000.
Sejauh ini belum ada tanggal pasti mengenai pendistribusian materai Rp 10.000.
"Kami sedang menyelesaikannya, mempersiapkan desain, mencetak, dan menyiapkan pendistribusian ke seluruh Indonesia. Belum tahu pekan ini atau nanti mungkin mundur," tutur Hestu.
Advertisement