Beragam Sorotan DPR soal Kenaikan Cukai Rokok 12,5 Persen

DPR menilai kenaikan cukai terus dilakukan tetapi tidak diiringi dengan langkah penyiapan industri baru sebagai penggantinya.

oleh Liputan6.com diperbarui 28 Jan 2021, 11:30 WIB
Diterbitkan 28 Jan 2021, 11:30 WIB
Ilustrasi Industri Rokok
Ilustrasi Industri Rokok

Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah secara resmi akan mulai menaikkan cukai rokok atau Cukai Hasil Tembakau (CHT) mulai 1 Februari 2021 mendatang. Aturan tersebut akan mematok tambahan cukai sebesar 12,5 persen.

Kebijakan tersebut rupanya menuai berbagai sorotan dari Komisi XI DPR RI. Salah satunya Bertu Melas. Politisi Fraksi PKB itu menilai kenaikan cukai hasil tembakau tersebut akan membuat para petani tembakau mengalami tekanan.

"Hasil riset kami, hasil tembakau di Indonesia itu diserap oleh industri-industri kecil dan bukan industri besar. Perlu ada insentif khusus kepada industri sehingga para petani tembakau bisa merasakan manfaatnya dan berpihak pada kemakmuran petani," kata dia di Jakarta, Kamis (28/1).

Hal senada juga disampaikan oleh Anggota Komisi XI DPR RI Willy Aditya. Menurut politisi F-NasDem itu, kenaikan cukai terus dilakukan tetapi tidak diiringi dengan langkah penyiapan industri baru sebagai penggantinya.

Sebab 50 persen dana bagi hasil cukai tembakau yang seharusnya diarahkan untuk masyarakat, masih tidak terlihat rencana pemerintah dalam pengembangan sumber daya manusia dalam industri baru.

"Belum lagi berkenaan dengan angka prevalensi usia merokok dalam rentang 10-18 tahun, yang sering tidak terealisasi. Perlu ada langkah pemerintah untuk mengatasi ini, sehingga alasan untuk menaikkan cukai rokok menjadi sejalan dengan kebijakan yang diterapkan. Kedepannya, pemerintah juga perlu membuat blue print arah kebijakan cukai tembakau khusus dalam optimalisasi juga sangat dibutuhkan," kata Willy.

Kenaikan cukai tembakau bahkan dinilai tidak sepenuhnya dapat mengatasi berbagai akar persoalan yang ada. Hal ini diungkap Anggota Komisi XI DPR RI Didi Irawadi, yang mendapat informasi bahwa dengan adanya kenaikan tersebut justru berdampak pada meningkatnya impor tembakau dari luar negeri. Padahal tujuan dari kebijakan tersebut, pemerintah ingin melakukan pembatasan konsumsi rokok yang berdampak pada kesehatan.

"Cara-cara yang dilakukan dengan kenaikan cukai ini, belum efektif menurut saya. Pemerintah bisa melihat kebijakan yang dilakukan di negara lain, Malaysia misalnya, walaupun cukai tidak dinaikkan tetapi mereka bisa melakukan cara lain, salah satunya dengan melarang penjualan rokok batangan. Sementara di negara kita tidak ada langkah-langkah lain, bahkan perusahaan rokok besar malah pendapatannya meningkat," ungkap politisi Partai Demokrat itu.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

Rokok Ilegal

20160930- Bea Cukai Rilis Temuan Rokok Ilegal-Jakarta- Faizal Fanani
Sejumlah batang rokok ilegal diperlihatkan petugas saat rilis rokok ilegal di Kantor Direktorat Jenderal Bea Cukai, Jakarta, Jumat (30/9). Rokok ilegal ini diproduksi oleh mesin dengan total produksi 1500 batang per menit. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Dengan tingginya harga cukai rokok, Anggota Komisi XI DPR RI Ahmad Najib Qudratullah khawatir akan menimbulkan peredaran rokok ilegal di masyarakat.

Dari pengamatannya, sejumlah warga dapilnya banyak yang kembali mengonsumsi rokok 'lintingan'. Hal itu sebagai dampak rokok yang tidak terjangkau, dengan demikian kebijakan cukai rokok juga tidak bisa diterapkan.

"Kebijakan ini harus di-review kembali, karena kami mendengar teman-teman industri sudah mengalami penurunan signifikan mulai dari tahun 2017. Belum lagi dampaknya bagi pendapatan petani tembakau. Menurut saya kebijakan ini harus adil, karena mereka meningkatkan penerimaan negara tetapi mereka dilemahkan secara perlahan, perlu ada kebijakan yang cukup adil," tegas politisi Fraksi PAN itu.

Berdasarkan paparannya, Menteri Keuangan Sri Mulyani menjelaskan bahwa kebijakan cukai memang tidak diberlakukan pada semua golongan atau tidak semua jenis rokok dinaikkan tarif cukainya. Hanya jenis Sigaret Kretek Mesin (SKM) dan Sigaret Putih Tangan (SPT) yang tarif cukainya naik. Sedangkan untuk kategori SKM cukainya naik 13,8-16,9 persen tergantung golongan, sementara untuk SPM naik 16,5-18,4 persen.

Realisasi penerimaan kepabeanan dan cukai, secara keseluruhan hingga akhir 2020 mencapai jumlah senilai Rp212,8 triliun, atau minus 0,3 persen dibandingkan 2019. Sementara penerimaan cukai sepanjang 2020 sebesar Rp176,3 triliun atau tumbuh 2,3 persen dari tahun sebelumnya. Ini terdiri dari cukai hasil tembakau (CHT) sebesar Rp170,24 triliun, etil alkohol (MMEA) hanya Rp5,76 triliun, dan etil alkohol senilai Rp240 miliar.

"Pada APBN tahun 2021, pemerintah menargetkan penerimaan cukai sebesar Rp180 triliun. Target itu terdiri atas cukai rokok Rp173,78 triliun. Sementara sisanya ditargetkan pada pendapatan cukai MMEA, cukai etil alkohol, dan penerimaan cukai lainnya sebesar Rp6,21 triliun," ungkap Menkeu.

Reporter: Dwi Aditya Putra

Sumber: Merdeka.com

Infografis Bahaya Merokok

Infografis Bahaya Merokok
Infografis Bahaya Merokok
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya