Mendag Lutfi soal Impor 1 Juta Ton Beras: Kalau Salah, Saya Siap Berhenti

Menteri Perdagangan (Mendag) Muhammad Lutfi siap mundur apabila kebijakan impor beras 1 juta ton di 2021 terbukti salah.

oleh Liputan6.com diperbarui 23 Mar 2021, 14:18 WIB
Diterbitkan 23 Mar 2021, 13:50 WIB
Dihadapan DPR, Mendag dan BKPM Bahas Pelaksanaan Investasi di Masa Pandemi
Mendag Muhammad Lutfi hadir pada rapat kerja di ruang rapat Komisi VI DPR RI, kompleks parlemen, Jakarta, Rabu (3/2/2021). Rapat kerja ini membahas realisasi anggaran tahun 2020, rencana kegiatan dan anggaran sesuai daftar isian pelaksanaan anggaranTahun 2021. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Jakarta - Menteri Perdagangan (Mendag) Muhammad Lutfi siap mundur apabila kebijakan impor beras 1 juta ton di 2021 terbukti salah. Pernyataan itu dilontarkan menanggapi pertanyaan dari Anggota DPR Komisi VI dari Fraksi PDIP I Nyoman Parta.

"Saya mesti mengambil keputusan pada keputusan yang tidak populer. Kalau memang saya salah, saya siap berhenti. Tidak ada masalah, saya berhenti tidak ada masalah. Tapi tugas saya memikirkan yang tidak dipikirkan oleh bapak dan ibu," terangnya dalam rapat kerja bersama Komisi VI DPR RI, Senin (22/3).

Keputusan untuk melakukan impor 1 juta ton beras guna memenuhi cadangan stok beras Bulog. Langkah ini sudah diputuskan sejak Desember 2020 atau  jauh sebelum dirinya menjabat Menteri Perdagangan.

"23 Desember 2020, sudah ada notulen rapat di tingkat kabinet. Jadi, artinya ini di tingkat lebih atas dari ratas menko memutuskan bahwa Bulog untuk 2021 itu mesti mempunyai cadangan atau iron stock (beras)," bebernya.

Salah satunya, kata Lutfi, cadangan Bulog tahun ini diperoleh dari pengadaan 500 ribu ton beras impor. "Jadi waktu saya datang, saya hanya menghitung jumlahnya," tuturnya.

Berdasarkan penghitungannya, stok beras cadangan Bulog saat ini hanya tersedia sebanyak 800 ribu ton. Dimana di dalamnya ada 270.000-300.000 ton dari stok tersebut merupakan beras hasil impor tahun 2018 silam.

Namun, sebanyak 300 ribu beras sisa impor tersebut berpotensi mengalami penurunan mutu. "Artinya, Bulog hari ini bisa cadangannya di bawah 500 ribu ton," ucapnya.

Sementara itu, penyerapan gabah oleh Bulog dirasa masih belum optimal, karena baru setara beras mencapai 85.000 ton mendekati musim panen ini. Padahal, target penyerapan gabah mendekati 500.000 ton per Senin (22/3/2021).

"Jadi, penyerapan tidak jalan dengan baik. Ini menyebabkan stok Bulog pada saat yang paling rendah dalam sejarah," bebernya.

Adapun, rendahnya penyerapan gabah sendiri lebih dikarenakan aturan teknis yang mesti dipatuhi Bulog dalam membeli gabah petani. Menyusul dalam Permendag Nomor 24 Tahun 2020, gabah harus dengan kadar air maksimal 25 persen dan seharga Rp 4.200 per kilogram.

"Sedangkan, permasalahannya hari ini curah hujan yang tinggi menyebabkan gabah petani tidak bisa dijual ke Bulog karena basah," katanya.

Oleh karena itu, impor dinilai menjadi solusi yang bisa diterapkan saat ini untuk menambal cadangan beras yang defisit saat ini. Kendati, kebijakan ini disadari tidak bisa menyenangkan semua pihak.

"Jadi, ini tanggung jawab saya. Sudah tidak usah melebar diskusinya. Saya janji tidak ada impor ketika panen raya. Selesai," tandasnya.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

Faisal Basri: Pemburu Rente Untung hingga Rp 2 Triliun dari Impor Beras 1 Juta Ton

Ratusan Ribu Ton Beras Tak Terpakai di Gudang Bulog
Pekerja menata susunan karung beras di Gudang Bulog Divisi Regional DKI Jakarta, Kelapa Gading, Kamis (18/3/2021). Meski Menko Perekonomian Airlangga Hartarto dan Mendag Muhammad Lutfi memerintahkan untuk impor 1 juta ton beras dikarenakan masih banyak stok di gudang. (merdeka.com/Iqbal S Nugroho)

Sebeumnya, kebijakan impor beras sebesar 1 juta ton merupakan kebijakan yang sangat politis. Hal tersebut dilontarkan oleh Ekonom Senior Institute For Development of Economics and Finance (Indef), Faisal Basri.

Faisal menjelaskan, kebijakan impor beras yang dilakukan secara tiba-tiba ini sangat berbau politis. Dia mencurigai, ada pejabat yang ingin rente dengan memaksakan adanya impor beras di tengah produksi padi petani yang meningkat.

"Kenapa kita buntu membahas masalah ini? Karena tidak bahas pemburu rente. Ini yang sudah bagus dirusak oleh pemburu rente yang bisa menikmati setidaknya Rp 2 triliun keuntungan kalau mengimpor. Kita tahu pelakunya siapa," katanya dalam webinar bertajuk Reformulasi Kebijakan Perberasan, Senin (22/3/2021).

Oleh karena itu, dirinya sedari awal tidak setuju akan kebijakan impor beras di tahun ini. Menyusul adanya sejumlah tren perbaikan dari kinerja maupun infrastruktur penunjang pertanian dalam negeri.

Hal itu terlihat dari pertumbuhan sub sektor tanaman pangan yang mengalami pertumbuhan positif 3,54 persen. Angka ini merupakan yang tertinggi dalam lima tahun terakhir.

Selain itu, pemerintah juga berhasil meningkatkan ketersediaan lahan baku untuk komoditas beras dari 7,1 juta hektar menjadi 7,46 juta di 2020. Sebagaimana yang dihimpun dengan metode Kerangka Sampel Area (KSA).

"Kalau saya lihat data, kita sudah on the right track. Indeks sudah membaik terus, availability, affordability juga. Artinya masyarakat sudah bisa menyediakan pangannya itu. Tinggal tugas negara memastikan, kalau ada bencana yang kita sangat rentan, bagaimana mengonversikannya ke ketahanan pangan," katanya.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Live Streaming

Powered by

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya