Swasta Gemar Berutang ke Luar Negeri, Apa Alasannya?

Sektor swasta gemar berutang dalam mata uang asing (luar negeri) dibanding mengandalkan mata uang Rupiah.

oleh Liputan6.com diperbarui 24 Mar 2021, 15:00 WIB
Diterbitkan 24 Mar 2021, 15:00 WIB
Ilustrasi pendanaan, investasi, dolar
Ilustrasi pendanaan, investasi, dolar. Kredit: pasja1000 from Pixabay

Liputan6.com, Jakarta - Peneliti Center of Industry, Trade and Investment Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Dzulfian Syafrian mengatakan, sektor swasta gemar berutang dalam mata uang asing (luar negeri) dibanding mengandalkan mata uang Rupiah (dalam negeri). Hal ini salah satunya karena utang dalam mata uang asing lebih murah.

"Swasta lebih suka berutang dalam mata uang asing karena biasanya lebih murah. Lebih murah dari sisi pembayaran bunga utang," ujar Dzulfian dalam diskusi online, Jakarta, Rabu (24/3).

Dzulfian melanjutkan, ketergantungan utang terhadap mata uang asing juga disebabkan oleh ketersediaan uang yang lebih besar dibandingkan di dalam negeri. "Lebih banyak tersedia likuiditasnya," jelasnya.

Namun demikian, penggunaan utang luar negeri lebih memiliki resiko yang lebih besar dibandingkan di dalam negeri. Sebab, rata-rata utang luar negeri tergolong jangka panjang.

"Utang swasta lebih parah lagi, ini mereka memilih jangka panjang. Ini harus diperhatikan karena kalau salah kelola akan menimbulkan masalah besar," jelas Dzulfian.

 

Reporter: Anggun P. Situmorang

Sumber: Merdeka.com

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

Membengkak, Utang Pemerintah Capai Rp 6.361 Triliun di Akhir Februari 2021

Ilustrasi dolar AS
Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) terus menguat, Jakarta, Kamis (23/10/2014) (Liputan6.com/Johan Tallo)

Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mencatat posisi utang pemerintah mencapai Rp 6.361 triliun hingga akhir Februari 2021. Posisi ini meningkat Rp128 triliun dari periode Januari 2021 yang mencapai Rp 6.233 triliun.

Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan, Luky Alfirman mengatakan, sesuai yang dirumuskan di dalam APBN, pemerintah bersama dengan DPR harus merancang dan selanjutnya bisa mengelola posisi utang pemerintah tersebut.

Kemenkeu sendiri mengengelola APBN secara keseluruhan. Untuk APBN 2021, Kemenkeu punya defisit anggaran 5,7 persen terhadap Produk Domestik Bruto atau Rp 1.006 triliun.

"Itu yang terus kami kelola dan dicarikan pembiayaannya sepanjang tahun. Posisi per akhir Februari untuk pembiayaan anggaran itu kira sudah berhasil menutupi sebesar Rp 273,1 triliun, ini sesuai rencana kita untuk bagaimana mencari atau menutup defisit sampai akhir tahun," ujarnya dalam konferensi pers APBN Kita, Edisi Maret, Selasa (23/3).

Pada kesempatan yang sama, Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara menekankan, bahwa untuk pembiayaan defisit APBN dan menjalankan pembangunan, tidak hanya mengandalkan utang pemerintah.

"Jadi kalau ditanya total utang, jumlahnya ada, tapi biaya pembangunan kita, pembiayaan APBN kita tidak hanya sekedar mengandalkan utang. Juga mengandalkan penerimaan pajak," kata Suahasil.

Reporter: Dwi Aditya Putra

Sumber: Merdeka.com 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya