Ini Alasan Simplifikasi Tarif Cukai Tembakau Harus Dilanjutkan

Penyederhanaan atau simplifikasi struktur tarif cukai hasil tembakau (CHT) merupakan solusi dari pengendalian konsumsi rokok di Indonesia.

oleh Liputan6.com diperbarui 23 Jul 2021, 17:27 WIB
Diterbitkan 23 Jul 2021, 12:50 WIB
20160930- Bea Cukai Rilis Temuan Rokok Ilegal-Jakarta- Faizal Fanani
Petugas memperlihatkan rokok ilegal yang telah terkemas di Kantor Dirjen Bea Cukai, Jakarta, Jumat (30/9). Rokok ilegal ini diproduksi oleh mesin dengan total produksi 1500 batang per menit. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Liputan6.com, Jakarta - Penyederhanaan atau simplifikasi struktur tarif cukai hasil tembakau (CHT) merupakan solusi dari pengendalian konsumsi rokok di Indonesia.

Selama ini, tingginya tingkat konsumsi rokok menjadi masalah yang pelik dan mengancam kesehatan masyarakat. Tidak tercapainya tujuan pengendalian tembakau di Indonesia disinyalir menjadi ancaman kegagalan Indonesia dalam mencapai Sustainable Development Goals 2030. Pada tahun tersebut, Indonesia dicanangkan mampu mengurangi hingga sepertiga angka kematian dini akibat penyakit tidak menular.

Senior Advisor Human Rights Working Group (HRWG) Rafendi Djamin, dalam Webinar Melanjutkan Kembali Kebijakan Penyederhanaan Struktur Tarif Cukai Tembakau memaparkan, merekomendasikan agar penyederhanaan struktur tarif CHT masuk ke dalam kebijakan CHT di Indonesia.

Penerapan cukai rokok di Indonesia, kata Rafendi, masih beragam karena banyaknya golongan tarif cukai. Hal ini menyebabkan harga rokok bervariasi dan memungkinkan masyarakat membeli rokok yang lebih rendah sehingga diperlukan penyederhanaan struktur tarif cukai hasil tembakau.

“Kita terancam gagal dalam reformasi fiskal jika simplifikasi tarif CHT tidak dilaksanakan. Ketika gagal, implikasinya jelas terkait dengan target penurunan prevalensi perokok anak gagal tercapai. Ini berarti perlindungan negara terhadap penduduk di bawah usia 18 tahun sebagai potensi bonus demografi akan rontok semua,” ujarnya dikutip Jumat (23/7/2021).

Rafendi mengatakan, kebijakan CHT yang baik merupakan kewajiban negara dalam mendukung hak asasi manusia terkait kesehatan publik.

“Hak atas kesehatan adalah hak asasi manusia (HAM) yang sifatnya inklusif, dan kewajiban negara untuk membuat kerangka kebijakan dan memastikan akses pelayanan kesehatan yang sama,” katanya.

Di Indonesia, katanya, perhatian diberikan kepada kelompok rentan masyarakat lewat instrumen cukai. Hal ini dinilai dapat mencegah kematian terkait tembakau dan bisa menambah pendapatan negara.

Kegagalan pemerintah dalam mengurangi produksi pemasaran dan konsumsi tembakau merupakan bagian dari pelanggaran kewajiban untuk melindungi hak asasi manusia yang tercantum dalam pasal 12 konvensi HAM.

 

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:


Sistem Cukai Rumit

Bea Cukai Sita Jutaan Rokok dan Liquid Ilegal
Barang bukti hasil penindakan barang kena cukai di Kantor Pusat Bea Cukai, Jakarta Timur, Jumat (25/10/2019). Ditjen Bea dan Cukai Kementerian Keuangan merilis hasil tindakan produk-produk ilegal, di antaranya rokok elektrik, rokok, hingga minuman keras . (Liputan6.com/Immanuel Antonius)

Ekonom Tax Center UI Vid Adrison mengatakan, apabila dilihat dari strukturnya, sistem cukai CHT di Indonesia adalah sistem cukai yang sangat rumit karena menggunakan hingga 4 dimensi guna menentukan tarif cukainya, yaitu jenis rokok, golongan produksi, teknik produksi, serta harga.

“Di Indonesia, sistem CHT sangat kompleks sehingga tujuan dari pengendalian konsumsi dari cukai itu tidak optimal. Selain itu, orang berusaha menghindari pajak secara legal sehingga implikasinya penerimaan negara tidak optimum,”katanya.

Vid mengatakan apabila simplifikasi struktur CHT dilakukan, pengurangan konsumsi rokok akan lebih besar. “Semakin banyak tier, semakin banyak tarif. Kalau seandainya simplifikasi dijalankan, harga rokok lebih tinggi, merek baru berkurang, variasi harga berkurang dan memotivasi orang untuk berhenti,” katanya.

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya